🐆 Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng

NovelWiro Sableng nonton film wiro sableng 212 warrior 2018 streaming, sinto gendeng wikipedia bahasa indonesia ensiklopedia bebas, kumpulan cerita silat pendekar kapak maut naga geni 212, cerita silat wiro sableng karya bastian tito sablengnya, download film wiro sableng lasopalogix, dunia kang ouw bastian tito, vik wiro sableng, wiro sableng KumpulanCerita Silat Legendaris Wiro Sableng 212 PendekarKapak Maut Nagageni : Film, Movie, Download, Cersil Jadul Karyanyamulai diterbitkan sejak tahun 1964 dan Wiro Sableng sendiri, yang ditulisnya berdasarkan rekaan ditambah bacaan buku sejarah Tanah Jawa mulai terbit pada tahun 1967. Berikut ini Adalah daftar cerita silat karya Bastian Tito yang dapat kalian baca disisni : Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 WiroSableng Search Cerita Silat Penginapan Pintu Naga. Cerita Silat Remaja Kho Ping Hoo 3 Tiga Naga Sakti kamar rumah penginapan yang disewanya dan pergi berjalanjalan Menangis sejadi-jadinya Sesudah dipermainkan beberapa hari dia datang dengan darah mendidih Literatur Fiksi silat karya A Download Lengkap Cerita Silat Cersil Terbaru Home » Kumpulan Cerita Silat » Download Koleksi Cerita Silat Komplit CERITASILAT Oleh : Robot Siansu serangan serentak pada pintu masuk dan pintu samping kediaman Kira dengan kekuatan penuh Sinar mata pemuda itu beralih ke arah wajah Sao-laopan pdf Wiro Sableng 212 Episode 003: Dendam Orang-orang Sakti Menangis sejadi-jadinya Begitu juga jika orang itu pendek, atau kekar, dan lain-lain Begitu juga jika orang Ceritasilat (cersil) memiliki ciri khas, yaitu mengusung kisah kepah­la­wanan (heroisme), dan mengusung tema klasik, yakni kejahatan yang akhirnya dapat dikalahkan oleh kebenaran pdf Wiro Sableng 212 Episode 003: Dendam Orang-orang Sakti Download Cerita Silat Wiro Sableng 212 . MemburuIblis Cerita Silat Kho Ping Hoo Komik Silat. NOVEL CERITA SILAT WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA. Cerita Silat Book Of China 300. Cerita Silat Sriwidjono Memburu Iblis 3 Kumpulan. Cerita Silat Kakek Segala Tahu PENDEKAR RAJAWALI SAKTI. KUMPULAN CERITA CERITA SILAT CINA. Buku Cersil Kho Ping Hoo. Link Cerita Silat Scribd Com Search Cerita Silat Penginapan Pintu Naga. Kitab 1000 Pengobatan Episode Perjanjian Dengan Roh (5 episode) 143 Benar saja, pintu itupun berderit-derit dan terkesan susah untuk bergerak Empat orang perwira itu tertawa bergelak, dan pemimpinnya lalu berkata Aku belum ingin pulang Si Cantik Dari Tionggoan 150 Si Cantik Dari Tionggoan 150. WiroSableng, Cersil yg membuat gw jadi hobby baca sejak 1991 (Banjir darah di Tambun Tulang) tapi saat itu masih dipinjamkan dan meminjam dr teman 😀. thx to Alm. Bastian Tito yg sudah mengisi hobby gw dengan tulisan2 yg bagus macam Wiro Sableng dan Boma Gendeng (sampul cover dan tokohnya diambil dr anaknya sendiri, Vino G. Bastian) CeritaSilat Indonesia Pendekar kelimanya segera masuk ke kamar masing-masing dan menutup pintu ukuran 36x26cm Sebelum mengenal tokoh wiro sableng ini ada baiknya anda juga mengenal terlebih dahulu pengarangnya, suhu Bastian Tito Sementara pintu-pintu sudah tertutup rapat "Aku berharap kamu sering-sering kemari," ucapku "Aku berharap kamu Untukterakhir kalinya, sebelum meninggalkan ruangan itu, Wiro (Oey Kim Tiang) adalah penterjemah cerita silat yang paling produktif di Indonesia sampai sekarang BOE KIE Coei San menyerang dengan Coretan huruf "Liong" (naga) dengan Kisah Para Naga Literatur Fiksi silat karya A Literatur Fiksi silat karya A. BOE KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan TranslationEnglish Stories SILAT classic super hero character Indonesia wiro sableng gapak Geni How to Read should donlot create adobe reader who can not read this novel novel will be updated regularly in accordance with the passage of the number of users and fans Silat stories Wiro Sableng works of Tito Bastian is a martial arts story longest hT59. Eps Lima Laknat Malam Kliwon1MENUNGGU EMPAT PULUH SEMBILAN TAHUNBUKU ini merupakan sisi lain dari serial Wiro Sableng yang terbit sebelumnya, berjudul "Munculnya Sinto Gendeng". Dalam seri tersebut dikisahkan bagaimana Pendekar 212 Wiro Sableng dan Eyang Sinto Gendeng bersama seorang kakek sakti bernama Ki Rana Wulung menyelamatkan Sri Baginda dan menghancurkan kaum pemberontak yang didalangi oleh keponakan Raja sendiri yaitu Pangeran ke tiga orang itu dalam membantu menyelamatkan Kerajaan tidak mudah. Kaum pemberontak dibantu oleh beberapa tokoh silat kelas tinggi, antara lain Bergola Ijo mati, Suto Abang melarikan diri, Si Tangan Besi mati, Malaikat Serba Biru mati, dan Nenek Kelabang Merah mati.Keadaan bertambah ricuh karena ternyata beberapa pejabat tinggi Kerajaan berkhianat dan ikut membantu kaum pemberontak. Mereka di antaranya adalah Raden Aryo Braja yang Kepala Balatentara Kerajaan mati dan Turonggo Wesi Perwira Tinggi Balatentara Kerajaan, mati.Sebagai balas budi jasa besar ke tiga orang itu, walau mereka menolak namun Raja memaksa menyerahkan sebuah peta yang menunjukkan letak sebuah telaga rahasia yang penuh dengan kandungan emas. Kisah telaga rahasia ini kemudian dituturkan dalam serial Wiro Sableng ke-37 berjudul "Telaga Emas Berdarah".Ketika Eyang Sinto Gendeng berkelahi hidup mati melawan Nenek Kelabang Merah, guru Pendekar 212 itu mengeluarkan satu ilmu sakti yang mampu memancarikan dua larik sinar biru dari sepasang matanya. Pendekar 212 terkejut melihat kejadian itu. Dua larik sinar biru itu ternyata luar biasa hebatnya. Wiro menyadari, selama digembleng di puncak Gunung Gede sang guru tidak pernah mewariskan ilmu kesaktian itu padanya. Diam-diam sang pendekar merasa kecewa. Apa betul ucapan orang bahwa seorang guru tidak pernah mengajarkan atau mewariskan semua ilmu kepandaiannya pada seorang murid?Karena tidak suka memendam hati yang membuatnya merasa tidak enak, di sebuah sungai kecil Wiro berkata pada sang guru."Eyang, rupanya benar ucapan orang. Bahwa tidak ada guru yang mengajarkan seluruh kepandaian pada muridnya!"Saat itu Sinto Gendeng hentikan larinya, berpaling pada sang murid dengan wajah merah dan membentak."Apa maksudmu anak sableng?""Tadi kulihat Eyang mengeluarkan ilmu aneh. Dua larik sinar biru melesat keluar dari mata dan merontokkan tubuh kelabang sakti…!""Hemm… begitu?"si nenek bergumam. "Ucapan orang itu mungkin benar. Tapi aku mau tanya. Berapa usiamu sekarang, anak sableng…?""Dua… dua puluh satu Eyang!""Betul! Itu berarti kau harus menunggu empat puluh sembilan tahun lagi untuk dapat menguasai ilmu itu!"Wiro garuk-garuk kepalanya."Mengapa begitu, Eyang?""Selama sepasang matamu masih terpikat pada keindahan dunia, selama kedua matamu masih suka melihat wajah perempuan cantik dan tubuh yang bagus mulus, selama kau suka melihat aurat perempuan yang terlarang yang bukan istrimu, selama itu pula kau tak bakal dapat menguasal ilmu itu!"Mendengar ucapan sang guru Pendekar 212 Wiro Sableng jadi tertegun diam. Sambil garuk-garuk kepala dia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi sang guru ternyata sudah berkelebat lenyap dari hadapannya."Ah… nenek-nenek itu mungkin benar. Aku masih suka melihat wajah cantik, melihat dada kencang dan paha putih. Ha… ha… ha…. Biarlah aku tidak menguasai ilmu itu! Ha… ha… ha!"2DIKURUNG JARING LIMA PENJURU JAGADWIRO memandang ke langit. Sang surya dilihatnya telah menggelincir jauh ke barat. Sebentar lagi sang mentari ini akan segera tenggelam. Siang akan berganti dengan malam. Setelah merenung sesaat Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu. Untuk menghibur hati dia berjalan sambil bersiul-siul membawakan lagu tak menentu. Di satu tempat Wiro hentikan siulannya. Telinganya menangkap suara gemericik kucuran air. Mendadak saja pemuda ini merasa haus. Maka diapun melangkah ke jurusan datangnya suara. Tidak sampai berjalan sejauh sepuluh tombak, Wiro hentikan langkah. Di depan sana ada sebuah pancuran bambu yang airnya mengucur jatuh ke atas bebatuan lalu tersebar kemana-mana dalam bentuk aliran-aliran kecil. Di sebuah batu tak seberapa besar di dekat pancuran, Wiro melihat si nenek duduk sambil bertopang dagu, menatap ke arah air yang mengucur dari mulut pancuran bambu."Sedang apa nenek ini berada di sini," berpikir Wiro. Lalu senyumnya menyeruak. Kembali dia membatin. "Jangan­jangan dia sengaja menunggu aku di sini. Jangan-jangan dia berubah pikiran hendak mengajarkan ilmu dua larik sinar biru yang bisa melesat keluar dari mata itu!" Berpikir begitu Wiro segera dekati Eyang Sinto Gendeng dan menegur."Eyang, aku kira kau sudah pergi jauh. Ternyata nongkrong di sini. Apakah kau hendak mandi mem­bersihkan diri dengan air pancuran?""Anak sableng! Jangan kau berani menghina aku! Siapa yang mau mandi? Apa kau kira aku tidak pernah mandi­mandi?!" Si nenek bicara dengan suara keras mata melotot. Tapi pandangannya tidak beralih dari arah murid kembali tersenyum. Dalam hati dia berkata. "Nek, kalau kau sering mandi, tubuhmu tidak dekil begitu dan pakaianmu tidak bau pesing!""Anak setan! Apa yang barusan kau ucapkan dalam hati?!"Hardikan si nenek membuat Wiro Sableng tergagau. "Celaka, mungkin dia tahu apa yang tadi kubilang dalam hati!"Wiro cepat berkata. "Maafkan aku Nek, aku tidak berucap apa-apa. Cuma aku heran melihat kau ada di sini. Kau seperti tengah memikirkan sesuatu. Seolah ada ganjalan dalam hatimu. Eyang, mungkin juga kau mendadak berubah pikiran?""Anak setan! Apa maksudmu?! Pikiran aku yang mana yang berubah? Atau kau mau bilang aku berubah jadi setengah waras atau mendadak jadi sinting?!" Sinto Gendeng kembali membentak. Dua matanya tetap saja menatap ke arah pancuran bambu."Maksudku, mungkin aku tidak usah menunggu empat puluh sembilan tahun. Kau mau mengajarkan ilmu dua jalur sinar biru itu sekarang juga….""Benar-benar anak setan! Bertahun-tahun kau ikut aku di puncak Gunung Gede! Apa selama itu kau pernah melihat aku berubah pikiran?!""Memang tidak pernah Eyang," jawab Wiro masih senyum dan kali ini sambil garuk kepala. "Tapi per­timbangan tertentu bisa membuat seseorang berubah. Misal, kau menyadari tantangan dan bahaya di dalam rimba persilatan semakin besar. Hingga….""Hingga aku merasa perlu membekalimu dengan ilmu dua larik sinar biru itu! Begitu?!""Kira-kira begitu Nek," jawab Wiro lalu tertawa tusuk kundai perak yang menancap di kulit kepala si nenek berjingkrak. Mulutnya yang kempot digembungkan."Anak setan! Lekas angkat kaki dari sini! Jangan sampai aku menggebukmu karena muak!""Eyang, maafkan aku. Bukan maksudku membuatmu marah. Aku tidak memikirkan lagi soal ilmu itu. Juga tidak untuk masa empat puluh sembilan tahun mendatang. Apa perlunya kepandaian di usia sudah bau tanah. Justru ilmu itu harus dimanfaatkan selagi muda untuk menolong sesama…. "Sinto Gendeng cemberut sebentar lalu tertawa mengekeh."Anak sableng! Kau pandai memilih kata-kata agar hatiku bisa terenyuh! Hik… hik… hik! Sekalipun angin sejuk atau angin api mendera hatiku, jangan harap Sinto Gendeng bisa berubah pikiran! Sudah! Pergi sana! Jangan mengganggu diriku lebih lama!"Wiro membungkuk hormat. "Jika begitu kehendak Eyang, aku minta diri sekarang. Tapi kalau boleh aku memberi nasihat sebaiknya Eyang jangan lama-lama berada di tempat ini….""Eh, memangnya kenapa? Siapa yang berani melarang?!" Sinto Gendeng pelototkan mata ke arah air pancuran."Tidak ada yang melarang Eyang. Setahuku di sekitar sini ada binatang buas aneh berkepala macan tapi cuma punya dua kaki. Makhluk ini jahat sekali, paling suka menggeragot benda jelek dan bau-bau!""Anak setan jahanam! Mentang-mentang aku jelek dan bau! Kau sengaja menghina mempermainkan diriku! Makhluk apapun yang ada di sekitar sini siapa takut! Kau memang minta digebuk!" Saking marahnya Sinto Gendeng gerakkan tangan kiri hendak memukul sang sambil tertawa gelak-gelak Wiro sudah melompat. Pemuda ini lambaikan tangannya. "Selamat tinggal Eyang…. " Wiro menyelinap ke balik serumpunan pohon bambu hutan. Baru berjalan belasan langkah tiba-tiba di belakangnya terdengar si nenek berseru."Anak setan! Tunggu! Lekas kau kembali ke sini!"Wiro tersenyum sendiri. "Ah, pasti dia benar-benar berbalik hati. Pasti dia memanggilku untuk mengajarkan ilmu kesaktian dahsyat itu. Mulutnya yang perot itu memang suka bicara kasar. Tapi aku tahu hatinya seperti emas…." Sambil tertawa-tawa Wiro kembali ke tempat gurunya. Si nenek masih duduk di tempat tadi dan tetap menatap ke arah pancuran bambu."Nek, aku sudah di sini. Ada sesuatu yang hendak kau sampaikan padaku?""Malam ini malam apa?!" Sinto Gendeng tiba-tiba ajukan jadi garuk-garuk kepala. Sebelumnya dia menduga si nenek akan bicara soal ilmu kesaktian itu. Ternyata malah mengajukan pertanyaan aneh."Aku bertanya, kau tidak menjawab! Apa mulutmu mendadak gagu?! Atau kupingmu tiba-tiba budek?!" Sinto Gendeng murid garuk kepala, cepat-cepat menjawab. "Hari ini hari Kamis, Nek. Malam nanti jelas malam Jum’at….""Bocah tolol! Aku juga tahu kalau hari ini hari Kamis dan nanti malam Jum’at! Yang aku ingin tanya malam nanti malam apa? Apa malam Legi, Pahing, Pon, Wage atau Kliwon?! Dasar anak setan! Sudah dua puluh satu tahun masih saja konyol dan geblek!"Pendekar 212 mau tak mau jadi garuk-garuk kepala. Dia berpikir-pikir. "Kalau aku tidak salah, mungkin sekali malam nanti adalah malam Jum’at Kliwon, Nek…."Untuk pertama kalinya si nenek alihkan pandangannya dari air pancuran yang sejak tadi diperhatikannya. "Jangan bicara kalau atau mungkin! Aku ingin yang pasti!" Si nenek perhatikan wajah sang guru. Seperti ada perubahan di muka si nenek yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu. "Aku… aku yakin malam nanti adalah malam Jum’at Kliwon," kata Wiro setelah berpikir lagi."Kau yakin?!""Yakin sekali Nek," jawab Wiro. Dalam hati dia merasa heran, mengapa sang guru bertanya begitu. Ketika dia memperhatikan lagi-lagi Wiro melihat wajah si nenek berubah."Kalau kau yakin sebentar malam adalah malam Jum’at Kliwon ya sudah! Pergi sana….""Jadi kau memanggilku hanya untuk bertanya itu Nek? Jadi sekarang aku pergi saja?""Apa kau tuli?!" sentak Sinto Gendeng."Aku segera pergi Nek. Apa ada hal lain yang bisa kulakukan untuk Eyang sebelum pergi?" tanya Wiro."Tidak ada! Aku hanya ingin kau tinggalkan tempat ini!" jawab Sinto Gendeng lalu kembali dia memandang ke arah pancuran sikap sang guru begitu rupa sambil tersenyum Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu. Lupa kalau sebelumnya dia merasa haus. Sesaat kemudian sang surya sudah lenyap di kaki katulistiwa sebelah barat. Siang berganti malam. Kegelapan mulai merayap Gendeng tarik nafas panjang. Dia ulurkan dua tangannya untuk rnenampung air pancuran yang sejuk. Maksudnya hendak minum beberapa teguk. Namun gerakannya tertahan ketika telinganya yang tajam mendengar suara-suara berkelebat. Nenek sakti ini melirik. Lima bayangan hitarn berpencar. disekelilingnya"Mereka sudah datang…" kata si nenek dalam hati. "Mereka sengaja mengurungku dengan Jaring Lima Penjuru Jagat. Selama ini mereka mengagulkan tak ada yang mampu menembus kurungan itu. Weehhhhh! Aku mau lihat apa benar begitu! Hik… hik… hik."***3DENDAM DELAPAN TAHUNSINTO GENDENG!" satu suara membentak dalam kegelapan. Orangnya tegak mende kam di sebelah kanan si nenek. "Delapan tahun mencarimu! Akhirnya kau kami temui juga! Kelahiran kehendak Yang Kuasa! Kematian kehendak takdir! Sebelum kami bantai kami masih memberi kesempatan padamu untuk bertobat minta ampun!"Di tempatnya si nenek tampak tidak bergerak. Lalu terdengar suara tawanya cekikikan. Mula-mula perlahan saja tapi lama-lama tambah keras dan dahsyat. Lima orang dalam gelap kerenyitkan kening karena telinga mereka menjadi sakit laksana dicucuk. Kelimanya saling pandang lalu berusaha tutup jalan pendengaran masing-masing. Ada yang mengerahkan tenaga dalam, ada pula yang menem­pelkan telapak tangan ke telinga kiri kanan."Delapan tahun rupanya singkat sekali! Langkah dan pertemuan memang bukan manusia yang mengatur! Tetapi ada banyak manusia yang merasa seolah pandai dan berkuasa! Padahal kebodohan mereka terkadang berakhir di pinggir comberan liang kubur!Hik… hik… hik!"Kata-kata Sinto Gendeng itu membuat lima orang yang mengurung dalam gelap menjadi marah. Namun mereka masih bisa mengendalikan diri."Sinto Gendeng, apakah saat ini kau masih membawa Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam sakti pasangannya?" orang di sebelah kiri bertanya."Weehhhh! Kalian masih saja menanyakan senjata mustika itu. Apa selama ini tidak sanggup membuat senjata sendiri?!""Kami bukan sengaja serakah untuk dapatkan senjata orang lain!" orang di sebelah belakang menjawab. "Tapi jika kau mau menyerahkan senjata itu mungkin kami masih mau memilihkan cara mati yang paling enak bagimu! Ha… ha… ha!"Ucapanmu polos juga! Tapi aku tidak percaya kalau hatimu juga polos! Delapan tahun kau menguntit aku! Apa hanya karena inginkan kapak sakti itu? Pasti ada maksud lain yang tidak terpuji! Bicara saja terang-terangan agar kalau kubunuh kalian satupersatu aku tidak penasaran lagi! Hik… hik… hik!" Sinto Gendeng balas di samping kanan Sinto Gendeng mendengus marah. Dia bergerak melangkah. Tapi segera dibentak oleh si nenek sambil jentikkan tangan kanannya."Bicara tetap di tempat! Jangan berani mendekat!""Wuuussss!"Jentikan si nenek menimbulkan satu gelombang angin yang membuat sebuah batu serta tanah di depan orang yang barusan bergerak terbongkar besar! Orang ini cepat bersurut dan tegak diam di tempatnya."Nah, begitu lebih baik. Sekarang silahkan bicara! Dan awas! Aku tidak begitu suka melihat orang bicara ngawur!""Kami datang membekal dendam!" orang di sebelah kanan berucap datar."Weehhh! Dendam yang mana? Delapan tahun kemana­mana membawa dendam pasti kau repot keberatan! Hik… hik!""Malam ini dendam itu akan kutumpas habis dengan nyawa dan darahmu!""Aku bersyukur kalau kau bisa melakukan itu! Sekarang majulah mendekat. Biar kulihat tampangmu!"Orang di sebelah kanan melangkah maju. Empat temannya melakukan hal yang sama walau tidak terlalu mendekati si nenek karena mereka tahu bagaimana berbahayanya Sinto Gendeng."Wallaahhh! Kau ternyata pakai topeng seperti muka barong! Mana aku bisa mengenali dirimu!" Sinto Gendeng geleng-gelengkan kepala. Sambil berbuat begitu dia melirik empat orang lainnya. Mereka semua berjubah hitam dan juga mengenakan topeng menutupi wajah masing-masing."Walau kami menutupi muka dengan topeng! Tapi orang rimba persilatan mana yang tidak tahu siapa kami! Sinto Gendeng! Jangan berpura-pura tidak tahu dendam apa yang kami bawa!""Kau betul, siapa tidak tahu diri kalian! Lima manusia berjubah hitam yang separoh dari usianya sengaja menjalani hidup dengan menutup muka! Hik… hik… hik. Lima Laknat Malam Kliwon! Begitu rimba persilatan menggelari kalian karena selalu muncul menebar maut hanya pada malam-malam Kliwon! Banyak orang menganggap kalian angker dan hebat! Tapi jangan menjual nama dan tampang di depan Sinto Gendeng!" ."Bagus! Ternyata kau sudah tahu siapa kami jadi tidak perlu susah payah berikan keterangan!" Orang di sebelah kanan ini lalu memberi tanda dengan goyangan kepala pada empat kawannya. Dalam gelap, lima sosok berjubah hitam itu segera melesat menyerbu si nenek yang sampai saat itu masih tetap duduk di atas batu di depan pancuran bambu."Hilang!" dua diantara lima orang itu berseru kaget ketika mereka dapatkan Sinto Gendeng tidak ada lagi di atas batu dan mereka hanya melompati tempat belakang mereka tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. "Jaring Lima Penjuru Jagat! Kalian agulkan sebagai tidak bisa ditembus lawan! Nyata nya aku bisa molos! Hik… hik… hik! Sungguh memalukan!" Lima orang yang dalam rimba persilatan dijuluki sebagai Lima Laknat Malam Kliwon kertakkan rahang sama menggeram. Kelimanya serentak berbalik. Lima tangan serta merta menghantam."Kraakkkk!" Sebatang pohon patah dan tumbang."Braakkk!" Serumpunan semak belukar setinggi dada mental berantakan."Byaaarr!" Sebuah batu besar ikut amblas hancur di hantam lima pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam tinggi."Hik… hik… hik! Kalian menyerang siapa? Aku ada di sini!"Kaget lima orang bertopeng itu bukan alang kepalang. Mereka berpaling! Gila betul! Si nenek yang tadi ada di belakang dan sama-sama mereka hantam dengan pukulan yang bisa mencerai beraikan sekujur tubuhnya kini tahu­tahu terlihat duduk enak-enakan di atas batu di depan air pancuran. Malah saat itu enak saja dia kelihatan keluarkan susur lalu dimasukkan ke dalam mulut dan mengunyah terkempot-kempot!"Perempuan tua bangka jahanam! Serbu dia dengan jurus Lima Bintang Jatuh!" salah seorang dari lima orang bertopeng berteriak sosok berjubah hitam melesat dua tombak ke udara. Lalu benar-benar seperti bintang jatuh ke limanya kemudian menukik ke arah Sinto Gendeng. Lima tangan laksana palu godam diayunkan ke lima bagian tubuh Sinto Gendeng!4LAKNAT BERNASIB MALANGDARI cepatnya alur serangan serta sambaran angin yang menerpa tubuhnya Sinto Gendeng sadar kalau lawan telah mengeluarkan jurus yang tak bisa dibuat main. Karenanya nenek sakti ini juga tak mau berlaku ayal. Di atas batu tubuhnya berputar setengah lingkaran. Dua tangan dihantamkan ke atas. Kaki kiri ditendangkan ke depan."Bukkk!""Bukkk!""Dukkkk!"Dua lengan Sinto Gendeng bergetar hebat begitu bentrokan dengan dua lengan lawan. Tubuhnya terhenyak jatuh ke bawah. Dua lawan terpental beberapa langkah. Satu jotosan melanda bahunya sebelah kiri membuat si nenek menggeram kesakitan. Di sebelah depan, satu dari lima lawannya yang berhasil ditendangnya mencelat sambil mengeluarkan jeritan. Orang ini terhampar di tanah, menggeliat-geliat sambil pegangi perut. Kelihatannya dia cukup kuat karena sesaat kemudian dia bangkit berdiri kembali dan bergabung dengan empat lima lawan satu itu berkecamuk semakin hebat. Lima Laknat Malam Kliwon lancarkan serangan sambil mengurung rapat. Walau sampai enam jurus di muka mereka masih belum mampu mendaratkan serangan di tubuh lawan namun keadaan Sinto Gendeng saat itu benar-benar berbahaya. Seolah hanya tinggal menunggu waktu saja. Gilanya si nenek menghadapi serbuan lima pengeroyok dengan tenang. Mulutnya yang dipenuhi susur terkempot-kempot dan jurus ke sembilan serangan Lima Laknat Malam Kliwon bertambah gencar laksana air bah. Sinto Gendeng mainkan jurus-jurus pertahanan Tameng Sakti Menerpa Hujan, Benteng Topan Melanda Samudera, Dinding Angin Berhembus Tindih pertahanan itu diselingnya dengan jurus­jurus menyerang Segulung Ombak Menerpa Karang, Membuka Jendela Memanah Rembulan, Di Balik Gunung Memukul Halilintar serta Kepala Naga Menyusup Awan. Lalu tidak lupa pula dia hantamkan pukulan-pukulan sakti Orang Gila Mengebut Lalat, Kunyuk Melempar Buah, dan Angin pengeroyok lambat laun menjadi leleh juga nyali mereka. Dikeroyok lima ternyata si nenek bukan saja mampu bertahan tapi malah balas menyerang dengan ganas. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menjaga diri masing-masing dan mengurung rapat agar lawan tidak lolos. Disamping itu mereka terus memutar otak bagaimana bisa merobohkan Sinto jurus ke dua puluh sembilan satu celah tipis, untuk mendaratkan serangan terlihat oleh tiga dari lima pengeroyok. Mereka bersirebut cepat untuk susupkan jotosan ke dada, kepala dan ulu hati lawan. Hampir serangan itu akan mengenai sasaran tiba-tiba Sinto Gendeng keluarkan pekik keras. Tubuhnya bergelung seperti ular menggeliat lalu melesat ke udara. Bersamaan dengan itu kaki kanannya menendang. Inilah jurus yang disebut Ular Naga Menggelung Bukit. Sebenarnya jurus ini mempergunakan gerakan tangan untuk melibas tubuh lawan. Tapi si nenek gantikan tangan dengan kaki dan bukan untuk merangkul melainkan untuk menendang!"Braaakkk!"Tendangan kaki kanan Sinto Gendeng bersarang di dada lawan paling depan. Orang ini adalah yang sebelumnya juga telah terluka di dalam akibat tendangan Sinto Gendeng. Melihat kawan mereka terkapar mengerang di tanah dan ada darah meleleh keluar dari bawah topengnya, empat anggota Lima Laknat Malam Kliwon menjadi leleh nyalinya. Salah seorang dari mereka berbisik pada kawan di sebelahnya."Delapan tahun memburu tidak sangka kita hanya menemui kesia-siaan! Jahanam betul! Ternyata nenek ini sangat tinggi ilmu kepandaiannya! Beri tanda pada kawan­kawan, agar segera tinggalkan tempat ini!""Bagaimana dengan teman yang satu itu?" sang kawan bertanya."Tidak ada waktu untuk mengurusnya. Melihat keadaannya nyawanya tak bisa ditolong! Kalau kita menghabiskan waktu menolongnya salah-salah kita bakal kena digebuk nenek keparat itu! Apa kau tidak sadar. Sampai saat ini dia masih belum mengeluarkan Pukulan Sinar Matahari! Apa lagi kalau dia sampai menyerang dengan Sepasang Sinar Inti Roh, kita semua bisa celaka!""Kalau cuma pukulan Sinar Matahari mengapa perlu ditakutkan? Lagi pula kita belum pasti apa benar dia memiliki ilmu kesaktian bernama Sepasang Sinar Inti Roh itu!""Sudah! Jangan banyak cerita! Kalau kau mau mampus lebih dulu silahkan tinggal di sini!"Setelah saling memberi tanda empat dari lima manusia berjubah dan bertopeng hitam itu akhirnya segera berkelebat melarikan Gendeng cabut susurnya lalu meludah ke tanah. Dia tiada niat hendak mengejar empat orang yang kabur itu. Dia memasukkan kembali susur ke dalam mulutnya lalu segera dekati orang yang ditinggalkan kawan­kawannya. Setelah pandangi sebentar wajah bertopeng itu Sinto Gendeng tertawa cekikikan."Laknat bernasib malang! Kawan-kawanmu sudah pada kabur! Kalian biasa membunuh orang di malam Kliwon! Kini justru kau sendiri yang bakal menerima mampus di malam Kliwon ini! Hik… hik… hik!"Dari balik topeng orang berjubah hitam yang tergeletak di tanah terdengar suara bergumam. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu namun yang keluar justru lelehan darah, mengucur semakin banyak dari bawah mempergunakan ujung kaki kirinya yang kurus hanya tinggal tulang serta kotor, enak saja Sinto Gendeng tanggalkan topeng di muka orang. Begitu wajahnya tersingkap kagetlah si nenek, sampal dia keluarkan suara seruan tertahan dan tersurut dua langkah."Kau!"***5BAHALA DARI TELUK AKHIRATORANG yang tergeletak di tanah keluarkan suara mengerang. Darah semakin banyak keluar dari mulutnya. Matanya menatap sayu pada Sinto Gendeng. Orang ini ternyata adalah seorang kakek berambut dan berkumis kelabu. Walau sudah tua serta dalam derita menahan sakit luar biasa, wajahnya masih kelihatan gagah."Suro Ageng!" berseru Sinto Gendeng. "Apa mataku tidak salah melihat? Benar kau…?!" Sepasang mata si nenek melotot tak kakek kedipkan matanya satu kali."Kau tidak salah melihat Sinto. Ini memang aku… Suro Ageng…."Sinto Gendeng jatuhkan dirinya dan duduk di samping kakek bernama Suro Ageng itu. "Belasan tahun kita tidak bertemu, mengapa tahu-tahu jadi begini…? Ah! Kalau aku tahu siapa dirimu tentu aku tidak akan menurunkan tangan jahat….""Kau tidak salah Sinto! Berani berbuat berani menerima akibat! Itu nasib diriku!""Suro…." Sinto Gendeng perbaiki letak kepala si kakek hingga lebih tinggi. "Mengapa kau melakukan ini? Mengapa kau sampai jadi anggota Lima Laknat Malam Kliwon?""Aku terjebak Sinto. Pimpinan mereka meracuniku dengan tuba sejak sepuluh tahun silam. Jika aku dan kawan-kawan berhasil membunuhmu baru dia akan memberikan obat penawar!""Jahanam! Siapa orang yang jadi biang racun pimpinan Lima Laknat Malam Kliwon itu?""Aku sendiri tidak tahu. Lagi pula percuma untuk menyelidik. Apakah selama belasan tahun berpisah kau selalu balk-baik Sinto?"Si nenek tidak menjawab. Matanya menatap pada wajah yang tengah sekarat menahan sakit itu. Dua mata si nenek tampak berkaca-kaca."Sinto, apakah masih ada rasa cinta dalam dirimu terhadapku seperti di masa muda dulu…. ""Gila! Kau bicara apa ini!" sentak Sinto Gendeng. Tapi kemudian dia merasa menyesal berkata kasar begitu dan gigit bibirnya. Tengkuknya terasa dingin."Ah, kau masih galak seperti dulu saja…" kata Suro Ageng menyeringai lalu mengerang Gendeng tersenyum dan usap kepala si kakek. "Aku akan mengobatimu! Kau pasti bisa sembuh dan hidup lagi di jalan yang benar!" Si nenek meraba ke balik pakalan bututnya. Namun Suro Ageng gelengkan kepala dan berkata."Aku berterima kasih mendengar ucapanmu. Satu pertanda kau masih mengasihiku. Tapi tak ada gunanya Sinto. Lukaku sangat parah. Salah satu sisi jantungku agaknya sudah remuk….""Aku yang menyebabkan! Aku yang menendangmu tadi!" kata Sinto Gendeng sesenggukan. Lalu pukul-pukul kepalanya Ageng tersenyum. "Kau tahu Sinto, betapa aku merasa bahagia. Karena tidak pernah menyangka bakal menemui ajal di sampingmu…." Darah mengucur lagi dari mulut si kakek."Jangan berkata begitu Suro. Kau akan sembuh! Kau pasti sembuh!" Kembali si nenek meraba ke balik pakaiannya di mana dia menyimpan sejenis obat sangat ampuh. Kali ini Suro Ageng diam saja, memperhatikan apa yang dilakukan Sinto belum sempat nenek sakti itu mengeluarkan bungkusan obat dari balik pakaiannya sekonyong-konyong dari kegelapan melesat satu bayangan aneh menebar bau busuknya binatang hutan."Sinto awas! Aku merasa ada bahaya mengancam dirimu…" kata Suro Ageng."Siapa berani mencari mati! Apa lagi dalam keadaan aku hendak menolongmu!""Makhluk yang katanya mencari mati itu bernama Kelelawar Pemancung Roh!" satu suara menjawab lalu orang yang bicara ini melangkah mendekati Sinto Gendeng dan Suro ini bertubuh besar tinggi dengan sepasang kuping mencuat ke atas. Dia memiliki dua buah tangan panjang menjela sampal ke bawah lutut, hitam berbulu. Dua matanya sangat kecil dan sipit, seolah Sinto Gendeng maupun Suro Ageng sama-sama terkejut melihat munculnya orang ini. Si kakek cepat berbisik. "Sinto, ingat. Empat puluh tahun silam kau pernah mengobrak-abrik sarang kaum pemberontak di selatan. Delapan diantara orang yang kau basmi itu punya pertalian darah sangat erat dengan Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat ini. Hati-hati Sinto….""Aku ingat. Siapa takut…!""Baiknya segera kau tinggalkan tempat ini. Bukan menganggap enteng dirimu. Tapi manusia ini punya ilmu jahat berupa hawa beracun yang bisa membunuh siapa saja dalam waktu singkat! Hawa itu tidak berwarna dan tidak berbau!""Kau tenang saja Suro. Biar aku yang menghadapi monyet tangan panjang ini!"Sinto Gendeng bergerak bangkit. Gerakannya tertahan ketika dia melihat satu keanehan terjadi dengan sosok orang bernama Kelelawar Pemancung Roh itu. Bersamaan dengan gerakan mengangkat ke dua tangannya ke atas tiba-tiba tubuhnya yang tinggi besar menciut pendek sampai hanya tinggal setinggi lutut. Sebaliknya dua tangannya yang hitam berbulu semakin besar dan panjang."Plaakkk!""Plaakkk!"Ada suara seperti kepakan sayap. Dua buah benda lebar memayungi tempat itu hingga suasana menjadi sangat gelap. Dalam kegelapan itu Sinto Gendeng mendongak ke atas. Si nenek tercekat!Di ujung-ujung tangan orang yang tubuhnya mengecil itu kini kelihatan dua ekor kelelawar raksasa mengepakkan sayap tiada henti. Dua matanya yang memancarkan sinar merah memandang membersitkan maut pada Sinto Gendeng. Mulutnya terbuka lebar memperlihatkan gigi-gigi runcing pertanda beringas. Sepasang kaki dua kelelawar raksasa ini ternyata menjadi satu dengan tangan orang yang memegangnya."Sinto!" seru Suro Ageng. "Lekas tinggalkan tempat !nil"Tapi si nenek mana mau perduli. Malah dia sudah alirkan tenaga dalam ke tangan kerdil gerakkan dua lengannya. Tiba-tiba dua kelelawar jejadian menguik dahsyat. Sebelum Sinto Gendeng sempat pentang tangannya untuk menghantam mendadak dari mulut dua kelelawar itu menderu tiupan angin kencang."Seribu Hawa Kematian!" teriak Suro Ageng. "Sinto! Lekas menyingkir!"Walau sudah diperingati begitu Sinto Gendeng tetap saja pasang kuda-kuda siap untuk menghantam dengan pukulan sakti. Melihat hal ini Suro Ageng kumpulkan semua tenaga yang ada lalu melompat. Ketika hawa beracun dari dua mulut kelelawar menerpa, sosok si kakek berada di depan Sinto Gendeng, menghalangi membentenginya. Namun perbuatannya sia-sia belaka karena hawa beracun yang tidak terlihat dan tidak berbau itu telah menyungkup di sekitar mereka! Saat itu juga ke dua orang itu megap-megap roboh ke tanah."Plaakk!""Plaakk!"Dua kelelawar raksasa kepakkan sayapnya. Sosok orang yang memegangnya membesar kembali. Begitu sampai pada ukuran sebelumnya dua kelelawar serta merta lenyap. Orang ini turunkan tangannya lalu setelah tertawa bergelak dia tinggalkan tempat itu.***6PENGORBANAN DI AKHIR HAYATDI SATU jalan mendaki Pendekar 212 hentikan larinya. Memandang berkeliling dia hanya melihat kegelapan. Hatinya gelisah. Bukan kegelapan itu yang membuatnya gelisah. Dia merasa tidak enak karena ingat akan gurunya yang ditinggalkan sendirian. Memang si nenek tidak kurang suatu apa. Tapi sikapnya tidak seperti biasa. Lalu apa pula maksudnya menanyakan malam itu malam apa. Selagi dia berpikir-pikir begitu rupa tiba-tiba dia melihat empat bayangan hitam berkelebat di antara rerumpunan semak belukar. Wiro cepat menyelinap, mendekam di satu tempat gelap dan mengintai. "Jangan-jangan para tokoh silat kaki tangan pemberontak," pikir Wiro. "Kita kembali saja ke Kotaraja! Sialan, tidak sangka setan satu itu tinggi sekali ilmunya!" Salah seorang dari rombongan di dalam gelap berkata. Wiro memperhatikan. "Mereka mengenakan jubah hitam. Muka memakai topeng hitam seperti barong. Siapa gerangan orang-orang ini…" pikir Wiro. Lalu didengarnya salah seorang dari mereka berkata menyahuti ucapan kawannya tadi. "Kotaraja sedang tidak aman. Apa kau tidak dengar riwayat seorang pemuda sakti mandraguna yang menghabisi pentolan pemberontak? Kita jangan sampai terlibat! Urusan kita ada yang lebih penting." "Kalau begitu kita segera saja menuju ke puncak Merapi menemui Pimpinan!" Tiga kawan yang lain menyetujui. Maka saat itu juga ke empat orang itu berkelebat ke arah timur dan lenyap dalam keluar dari balik tempat pengintaiannya sambil usap-usap dagu, coba menduga-duga siapa adanya ke empat orang itu. "Dari pembicaraan mereka agaknya mereka bukan pentolan pemberontak. Lalu siapa yang disebut setan satu yang tinggi sekali ilmunya itu?"Setelah berpikir beberapa saat lagi akhirnya Wiro memutuskan untuk kembali ke tempat dia meninggalkan Eyang Sinto Gendeng. Mungkin dia tidak perlu menemui sang guru. Asal melihat si nenek berada dalam keadaan tak kurang suatu apa hatinya baru lega dan dia lantas akan lanjutkan mempergunakan ilmu lari cepat dan me nempuh jalan yang sebelumnya sudah dilewati maka dalam waktu singkat Wiro sampai kembali ke tempat dia meninggalkan Eyang Sinto Gendeng. Namun betapa kejutnya setengah mati ketika melihat sang guru tergeletak di tanah dengan mata nyalang tak berkesip dan mulut mengeluarkan busah. Di sebelahnya terkapar seorang kakek yang juga mengeluarkan busah serta darah dari mulutnya. Meskipun megap-megap sekarat tapi matanya kelihatan nyalang."Guru! Eyang!" teriak Wiro lalu jatuhkan diri dan letakkan kepala si nenek di atas kakek di sebelah Sinto Gendeng bergerak sedikit. "Anak muda, siapapun kau adanya lekas ambil sebuah sapu tangan hitam dalam saku pakaianku….""Katakan apa yang terjadi?! Kau siapa?!" Wiro memotong ucapan orang."Jangan bertanya menghabiskan waktu! Sinto Gendeng dalam bahaya besar. Dia bisa mati dalam beberapa kejapan kalau tidak segera ditolong. Didalam lipatan sapu tangan hitam ada empat butir obat. Dua berwarna putih, dua berwarna hitam. Masukkan obat itu ke dalam mulut Sinto Gendeng! Lekas, lakukan segera! Jangan sampai terlambat!"Sesaat Wiro masih bingung. Tapi kemudian dia segera lakukan apa yang dikatakan orang. Di dalam saku kanan pakaian hitam si kakek memang dia menemukan sehelai sapu tangan hitam. Dalam gulungan sapu tangan itu ada empat butir benda bulat sebesar ujung jari kelingking. Dua berwarna putih, dua berwarna hitam. Seperti yang dikatakan kakek tak dikenal itu Wiro masukkan obat itu ke dalam mulut gurunya. Lalu dia mengurut tenggorokan Sinto Gendeng hingga empat butir obat tertelan dan melewati tenggorokan lalu masuk ke dalam perut. Begitu masuk ke dalam usus besar, Sinto Gendeng menggeliat dan keluarkan suara erangan keras. Dari mulutnya mengepul asap aneh. Matanya yang tadi mendelik perlahan-lahan menutup. Lalu sosok si nenek tidak bergerak lagi."Jahanam! Kau menipu! Guruku menemui ajal akibat obat yang ditelannya!" teriak Wiro marah. Tangan kanannya siap hendak menggebuk batok kepala si kakek."Anak muda! Jangan cepat salah sangka! Jangan keburu menduga buruk. Gurumu hanya pingsan tanda obat tengah bekerja. Walau tidak sembuh menyeluruh tapi yang penting Sinto Gendeng sudah lolos dari lobang jarum kematian. Coba kau periksa lengannya. Kau akan merasakan denyutan nadi tanda dia masih hidup…."Wiro cepat meraba pergelangan tangan kanan Sinto Gendeng. Hatinya lega. Ternyata memang masih ada denyutan pada urat besar si nenek."Orang tua, harap kau menerangkan apa yang terjadi. Dan kau sendiri siapa?""Dua pertanyaanmu tidak penting. Sebelum aku meregang nyawa ada beberapa hal yang perlu aku beri tahu…. Pertama, Sinto Gendeng walaupun selamat dari kematian tapi seumur hidup tubuhnya sebelah pinggang ke bawah akan mengalami kelumpuhan. Hal kedua, satu­satunya cara untuk mengobati kelumpuhan itu adalah mencari sekuntum Bunga Matahari yang tumbuh menghadap matahari terbit dan hanya mengembang pada saat terjadi gerhana matahari. Jika kau berhasil mendapatkan bunga itu pada saat mengembang dan dimakan oleh Sinto Gendeng maka dia akan sembuh dari kelumpuhan….""Aku sudah mendengar ucapanmu Kek! Sekarang katakan apa yang terjadi! Siapa yang melakukan malapetaka ini atas diri guruku? Lalu kau sendiri siapa?""Orangnya dikenal dengan julukan Kelelawar Pemancung Roh. Sarangnya di Teluk Akhirat. Dia menghantam Sinto Gendeng dengan racun Seribu Hawa Kematian. Tidak ada satu orangpun yang mampu lolos dari kematian jika diserang. Racun itu berupa hawa yang tidak kelihatan dan juga tidak berbau. Karena keadaannya lebih berat dari udara maka hawa beracun ini selalu mengambang dari atas ke bawah. Akibatnya tidak ada yang bisa lolos dari kematian….""Aku pernah mendengar nama Kelelawar Pemancung Roh itu. Akan kucari dan kucincang sampai lumat manusia keparat itu!" Pendekar 212 geram bukan kepalang. "Hai! Kau belum menerangkan siapa dirimu!""Aku Suro Ageng. Sahabat Sinto Gendeng di masa muda…. Aku….""Kalau kau benar sahabat guruku kau harus kutolong…. Kau masih memiliki obat seperti yang kau berikan pada Eyang Sinto Gendeng?""Sebenarnya obat itu bisa dibagi dua, untukku dan untuk gurumu. Tapi jika dibagi dua daya kekuatannya jadi berkurang. Gurumu mungkin tidak banyak tertolong. Aku memutuskan menolongnya agar bisa hidup. Sedang diriku sendiri sudah pasrah menghadapi maut….""Pasti ada cara menolongmu Kek!" kata Wiro seraya memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur topeng yang sebelumnya dipakai Suro Ageng. Wiro lantas ingat pada empat orang dalam gelap yang ditemuinya sebelumnya. Ketika dia memperhatikan pula pakaian si kakek, berdesirlah darahnya. Kakek ini mengenakan jubah hitam seperti yang dipakai orang-orang itu! Murid Eyang Sinto Gendeng jadi curiga."Kek, sebelumnya aku melihat empat orang me­ngenakan topeng dan jubah hitam seperti yang kau kenakan. Apakah kau punya sangkut paut dengan mereka…?""Anak muda, kau pernah mendengar nama Lima Laknat Malam Kliwon?""Pernah…" jawab Wiro. Lalu dia ingat. "Sebelumnya guruku pernah bertanya malam ini malam apa! Bukankah malam ini malam Jum’at Kliwon? Berarti…!" Sepasang mata sang pendekar mendelik. Tubuhnya bergeletar. "Kau salah satu dari mereka!"Suro Ageng mengangguk Pendekar 212 menggembung. "Bukankah jika Lima Laknat Malam Kliwon muncul di malam Kliwon berarti ada orang yang bakal menjadi korbannya?! Jangan-jangan kalian sebelumnya punya maksud keji terhadap guruku!""Kau benar anak muda! Tapi maksud kami tidak kesampaian. Aku sendiri sangat menyesal….""Kesampaian atau tidak, menyesal atau tidak aku tidak perduli! Biar kupecahkan dulu batok kepalamu!"Wiro lalu angkat tangan kanannya untuk menggebuk batok kepala Suro Ageng. Si kakek diam saja. Tidak bergerak, berkedippun tidak seolah dari samping terdengar ucapan Sinto Gendeng."Anak setan! Kakek itu telah selamatkan nyawaku dengan nyawanya! Mengapa kau hendak membunuhnya?!""Eyang!" seru Wiro. Saat itu si nenek sudah bergerak bangkit dan duduk di tanah. Ketika dia mencoba berdiri ternyata dia tidak mampu menggerakkan kedua kakinya. Dia pergunakan tangan meraba dua kaki itu. Kaki itu tidak merasa apa-apa. Maka menjeritlah si nenek! Lalu terkulai pingsan. Di saat yang sama kepala Suro Ageng terkulai pula ke kiri. Orang ini tak bergerak lagi bertanda nyawanya melayang sudah.***7SINTO GENDENG LUMPUHSOSOK Sinto Gendeng bergerak. Dari mulutnya keluar erangan halus. "Nek, kau sudah siuman Nek?" tanya Wiro yang duduk memangku kepala gurunya."Kepalaku berat…. Mataku sulit dibuka. Tapi aku mendengar suaramu. Anak setan…. Apa yang terjadi dengan diriku. Aku… aku tidak mampu menggerakkan dua kakiku. Aku tak mampu bergerak duduk….""Eyang, kau tiduran saja dulu. Jangan terlalu banyak bicara….""Anak setan! Berani kau melarang aku bicara?!" bentak Sinto Gendeng. Mukanya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang kelihatan pucat."Nek, biar aku ceritakan apa yang terjadi denganmu. Aku ingin ingatanmu pulih dan tabah menerima kenyataan….""Tabah menerima kenyataan? Eh, apa maksudmu anak sableng?! Memangnya apa yang terjadi?!" tanya Sinto Gendeng pula."Dua kakimu lumpuh Nek. Akibat racun Seribu Hawa Kematian…."Perlahan-lahan dua mata si nenek terbuka sedikit, makin lebar, tambah lebar dan akhirnya memandang mendelik pada sang murid. Dia usap dua kakinya dengan tangan kanan. Tidak terasa apa-apa. Dia coba gerakkan dua kaki itu. Dia tidak mampu melakukan. Sinto Gendeng hendak menjerit tapi akhirnya sadar dan hanya bisa pasrah."Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat…. Dia yang mencelakaiku. Dia melampiaskan dendam empat puluh tahun lalu!" Rahang si nenek menggembung. Mukanya yang seperti tengkorak tampak tambah angker. "Dendam akan berkelanjutan. Kelelawar Pemancung Roh benar-benar telah menanam racun! Dia kelak akan memetik dan menelan buah racunnya! Selama bumi terhampar, selama langit berkembang aku akan mencari dan membunuhnya….""Eyang, untuk sementara harap kau tidak memikirkan segala dendam kesumat. Kita harus mencari jalan bagaimana bisa menyembuhkan dirimu. Menurut kakek bernama Suro Ageng itu….""Suro Ageng!" Sinto Gendeng menyebut nama itu setengah menjerit. "Mana dia?!" Sepasang mata si nenek berputar."Dia ada di sebelahmu Nek. Tapi sudah mendahuluimu. Mati akibat Seribu Hawa Kematian."Dua mata Sinto Gendeng mendelik. Dia gerakkan kepalanya ke kiri. Sosok Suro Ageng tergeletak di sebelahnya. Tangan kirinya diulurkan memegang tangan si kakek. Dia hendak menjerit namun yang keluar hanya sesenggukan. "Suro…. Kalau saja dulu aku menerima lamaranmu dan kawin denganmu. Kau tidak akan mengalami nasib seperti ini. Ah…."Wiro jadi terkesiap mendengar ucapan sang guru. Sambil garuk-garuk kepala dia berkata. "Eyang, jadi kakek ini dulunya adalah kekasihmu di masa muda…?"Si nenek tidak menjawab. Dalam hati Wiro bertanya­tanya, di masa mudanya dulu sebenarnya berapa banyak si nenek ini punya kekasih. Mungkin karena begitu banyaknya hingga dia bingung memilih, akhirnya tak pernah kawin-kawin. Kalau bukan dalam keadaan seperti itu pemuda konyol ini tentu sudah menggoda sang Gendeng usap-usap mukanya yang pucat beberapa kali. Dari mulutnya kemudian meluncur ucapan."Aku pantas bangga padanya. Dia sengaja me­ngorbankan nyawanya untuk menyelamatkan jiwaku! Suro…. Sungguh tinggi budimu….""Eyang, sebelum menghembuskan nafas kakek itu menerangkan bahwa satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan kelumpuhanmu adalah Bunga Matahari yang tumbuh menghadap matahari terbit dan mekar pada saat gerhana matahari…."Kulit muka Sinto Gendeng mengerenyit."Orang bisa berkata begitu. Tapi Gust! Allah menjadikan obat bukan cuma satu macam! Pasti ada obat lain yang lebih mudah dari bunga matahari celaka itu! Kalau mengalami kesulitan kita harus cari kawanku Si Raja Obat! Anak setan! Apakah kau sudah siap?!""Siap apa maksud Eyang?" tanya Wiro heran."Saat ini juga kita harus berangkat ke Teluk Akhirat! Mencari manusia berjuluk Kelelawar Pemancung Roh itu!""Eyang…. Keadaanmu belum pulih. Lagi pula kau…. Kau tak bisa berjalan sendiri….""Aku tidak menyuruhmu mencari keledai atau kuda, apa lagi onta tunggangan!" jawab si nenek."Aku tahu Nek, maksudku kau harus istirahat dulu yang cukup. Jika kesehatanmu pulih baru kita pikirkan apa yang harus kita lakukan….""Weehhhhh! Kau tahu apa mengenai diri dan kesehatanku! Jangan kau mengatur diriku, anak sableng!"Wiro garuk-garuk kepala. Tak ada jalan lain. Ketika dia hendak membantu si nenek berdiri pandangannya membentur sebuah benda tergeletak di tanah dekat kaki Suro Ageng. Wiro segera mengambilnya."Benda apa itu…?" Sinto Gendeng memperhatikan benda yang dipegangnya Wiro menjawab. "Sebuah kalung kepala srigala. Terbuat dari perak. Rantainya sudah putus….""Kepunyaan siapa menurutmu?" tanya si nenek."Sulit kuduga Nek. Mungkin salah seorang dari komplotan Lima Laknat Malam Kliwon. Mungkin juga punya makhluk kelelawar dari Teluk Akhirat itu…. ""Simpan baik-baik. Benda itu bisa kita jadikan bahan pelacak dimana sarangnya Lima Laknat Malam Kliwon serta Kelelawar Pemancung Roh!"Wiro mengiyakan sambil mengangguk lalu masukkan kalung kepala srigala itu ke balik pakaiannya."Sekarang kita harus segera tinggalkan tempat ini!" kata Sinto Gendeng."Apa tidak menunggu dulu sampai pagi hari Nek? Lagi pula bukankah kita harus mengurus mayat kakek bernama Suro Ageng In!?""Mayat Suro Ageng memang menjadi ganjalan. Tapi kalau kita melewati sebuah desa, kita bisa upahkan orang untuk mengurusnya. Sekarang jangan banyak membantah. Kita harus tinggalkan tempat ini. Teluk Akhirat cukup jauh dari sini!""Tapi Nek, kau tak bisa berjalan sendiri. Apa lagi berlari!" ujar Wiro pula."Siapa bilang aku akan jalan kaki sendiri?!" ujar si nenek seraya menyeringai."Memangnya kau bisa terbang, Nek?""Weehhhh! Kau yang menerbangkan aku, anak setan!"Wiro keheranan tak mengerti."Dukung aku di pundakmu! Kau boleh berjalan biasa, berlari atau terbang! Suka-sukamulah! Hik… hik… hik….""Nek! Kau….""Jangan berani membantah perintah seorang guru!""Aku tidak membantah Eyang. Tapi bayangkan saja kalau aku harus membawamu kemana-mana. Di dukung di atas bahu!""Lalu apa kau mau mendukung aku seperti membedung bayi di depan dada? Hik… hik… hik!""Kita harus mencari binatang untuk tungganganmu…" kata Wiro pula."Aku gamang kalau menunggangi binatang. Aku cuma mau didukung belakang. Nangkring di atas pundakmu! Ayo tunggu apa lagi! Naikkan aku ke atas pundakmu Wiro!"Pendekar 212 garuk-garuk kepala. "Celaka benar! Bagaimana aku bisa mendukung nenek yang sekujur badannya bau pesirfg begini rupa!""Jangan kau mengumpat atau memaki dalam hatimu anak setan! Jika kau tidak rela mendukungku, cepat kau tinggalkan aku sekarang juga! Lalu mulai saat ini putus hubungan kita sebagai murid dan guru!"Wiro memaki panjang pendek dalam hati. Namun dia memang tidak bisa menolak. Tubuh sang guru diangkatnya lalu dinaikkannya di atas pundaknya. Leher dan pundaknya kiri kanan langsung terasa dingin oleh rembesan air kencing yang menempeli kain panjang butut yang dikenakan Sinto Gendeng. Rahang Pendekar 212 menggembung. Kuping hidungnya bergerak-gerak. Celakanya si nenek duduk sambil goyang-goyangkan badannya seperti anak kacil keenakan."Uh…. Kau berat sekali Nek!" kata Wiro masih belum melangkah."Jangan macam-macam Wiro. Tubuhku cuma tinggal tulang belulang! Apanya yang berat?!" Si nenek lalu jambak rambut gondrong muridnya."Tubuhmu memang tidak berat Eyang. Tapi yang berat mungkin dosamu karena terlalu banyak kekasih di masa muda!" jawab Pendekar 212 kiri Sinto Gendeng menyambar telinga kiri Wiro lalu dipuntir lumat-lumat hingga Wiro menjerit kesakitan."Anak setan! Aku tahu kau tidak suka mendukungku seperti ini! Tapi seandainya aku seorang gadis cantik jelita, weehhhhh! Pasti kau akan bawa kemana saja dan tanganmu akan menggerayang kesana-sini!" Sinto Gendeng tertawa mengekeh. Dia puntir lagi telinga kiri Wiro. "Ayo jalan!""Aduh Eyang! Ampun! Jangan dipuntir telingaku! Aku segera jalan!" teriak Wiro kesakitan."Nah bagus kalau begitu! Hik… hik… hik…."Belum jauh berjalan tiba-tiba Sinto Gendeng pegang tagi telinga kiri Wiro."Nek…!""Anak setan! Kau mau bawa aku kemana?! Aku tidak bodoh! Teluk Akhirat letaknya di sebelah selatan sana. Mengapa kau menuju ke arah timur?""Anu Nek…. Ada baiknya kita lebih dulu menemui Kakek Segala Tahu di bukit kapur tempat kediamannya. Siapa tahu dia ada di sana. Kita bisa minta petunjuk bagaimana caranya kau bisa disembuhkan dengan cepat….""Kau murid baik dan pintar!" Si nenek elus-elus rambut gondrong muridnya. "Berjalan biasa-biasa saja. Tak usah kesusu. Tubuhku letih sekali. Aku mau tidur barang beberapa lama…." Sinto Gendeng rangkapkan dua tangannya di depan dada. Matanya dipejamkan. Sesaat kemudian terdengar suara ngoroknya sepanjang jalan."Nenek bau pesing sialan!" memaki Pendekar 212. "Dia enak-enakan ngorok di atas pundakku sementara aku sengsara. Kalau saja kau bukan guruku dari tadi-tadi kau sudah kubanting ke tanah!" Saat itu bernafaspun sang pendekar takut rasanya. Karena setiap dia menarik nafas, yang masuk ke dalam rongga hidungnya adalah bau pesing tubuh dan kain panjang butut si nenek!TAMAT Fandom App Lihat fandom yang Anda favoritkan dan jangan pernah ketinggalan. Eps Srigala Perak1KI TAWANG ALUMELIHAT siapa yang berdiri di depannya, Pendekar 212 Wiro Sableng merasa tidak enak. Dia langsung membentak. " Kau datang menyelinap dalam kegelapan malam! Membokong secara pengecut! Apa tujuanmu Ki Tawang Alu?!"Si kakek tertawa bergumam. Sambil pegangi lengan kanannya yang sakit akibat bentrokan dengan tangan Wiro tadi dia menjawab."Malam boleh gelap! Kau boleh saja menuduhku sebagai pembokong pengecut! Tapi satu hal jelas bagiku, seperti terangnya matahari di siang bolong!""Tua bangka sialan! Aku tidak begitu suka melihat tampangmu yang putih seperti poncong hidup! Jadi jangan berpantun mengumbar syair didepanku! Katakan terus terang apa maksudmu muncul di tempat ini?!""Kalung kepala srigala perak! Aku tahu patung itu ada padamu!""Sebelumnya kau sudah memeriksa menggeledah sendiri! Kau tidak menemukan kalung itu pada diriku! Kau ini gila atau tolol!""Aku tidak gila, tidak juga tolol! Aku terlalu cerdik untuk kau tipu, anak muda bau kencur! Mana kalung perak kepala srigala itu! Lekas serahkan padaku!"Wiro tatap kakek bermuka putih. Sambil menyeringai dia membatin. "Aku ingat pembicaraan dengan empat gadis anggota Kelompok Bumi Hitam itu. Antara mereka dengan kakek jelek ini seperti ada ketidak cocokan….""Jangan cengangas-cengenges di hadapanku! Kalau kau tidak segera menyerahkan kalung kepala srigala itu, kau bakal menyesal sampai ke liang kubur!""Busetttt! Matipun aku belum! Bagaimana kau bisa bilang aku bakal menyesal sampai ke liang kubur!""Kalau begitu biar sekarang kubunuh saja kau!" Kakek bernama Ki Tawang Alu lalu angkat tangan kanannya. Dalam gelap murid Sinto Gendeng melihat tangan si kakek bergetar pertanda ada hawa sakti atau tenaga dalam yang dialirkan ke tangan tetap menyeringai. "Kau bunuhpun aku sampai tujuh kali kalung kepala srigala itu tak bakal kau dapatkan!"Ki Tawang Alu turunkan tangan kanannya. "Apa maksudmu! Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!""Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil! Malah pada orang-orangmu kau katakan kalung itu tidak ada padaku! kau menipu mereka! Berarti ada keculasan dalam hatimu!"Tampang si kakek sesaat berubah. Rahangnya menggembung. "Urusanku dengan orang-orangku apa perdulimu! Hatiku culas atau tidak juga apa perdulimu! Sekarang katakan saja! Kau mau menyerahkan kalung kepala srigala itu atau tidak?!""Kalung itu tidak ada padaku!" jawab Wiro. "Kakek muka putih, terus terang aku muak melihatmu!" Wiro putar tubuh hendak berlalu. Tapi si kakek cepat menghadang."Tunggu! Kalau kalung itu sekarang tidak ada padamu, dimana beradanya? Kau serahkan pada siapa?!""Empat gadis berkerudung hitam itu mencegatku di satu tempat. Mereka bilang kalung itu sangat mereka perlukan. Karena aku merasa kalung itu memang milik mereka. lalu kuserahkan pada salah seorang dari empat gadis itu….""Empat gadis! Bagaimana kau tahu mereka adalah empat orang gadis!" Ki Tawang Alu bertanya heran."Aku melihat sendiri wajah-wajah mereka. Cantik semua! Mereka yang memperlihatkan wajah padaku!"Ki Tawang Alu kelihatan terkejut mendengar keterangan Wiro itu, alisnya yang putih sampai berjingkraj keatas. Rahangnya menggembung."Anak muda tolol! Kau sudah kena tipu! Empat gadis itu tidak berhak memiliki kalung itu! Kau ingat kepada siapa kalung itu kau serahkan?!""Gadis bernama Mentari Pagi!" jawab rahang Ki Tawang Alu menggembung."Kalau kau berdusta, kalau ternyata kalung itu tidak ada pada gadis bernama Mentari Pagi itu kau bakal tahu rasa. Gurumu si nenek bau pesing itu akan kubuat menemui ajal secara mengenaskan!"Terkejutlah Pendekar 212 mendengar ucapan si kakek. "Jahanam keparat! Apa yang telah kau lakukan terhadap guruku?!" teriak Wiro. Sekali lompat saja dia ada di hadapan si kakek. Tangan kanannya menyambar. Lidah Ki Tawang Alu mencelat terjulur keluar begitu Wiro mencekik lehernya!Megap-megap si kakek berkata. "Bunuh! Patahkan batang leherku! Kau tak bakal melihat gurumu seumur-umur!""Jahanam!" Wiro kembali merutuk. Tangannya bergerak."Braaakkkk!"Ki Tawang Alu dibantingnya hingga jatuh punggung di tanah. Tapi sambil menyeringai kakek ini berusaha bangkit berdiri. "Gurumu berada di tanganku! Kusembunyikan di satu tempat. Saat ini masih dalam keadaan aman. Tapi jika keteranganmu dusta dan aku tidak menemukan kalung itu, kematian gurumu semudah aku membalikkan telapak tangan!""Kurang ajar! Telapak tanganmu yang mana? Yang kiri atau yang kanan?!" Wiro Tawang Alu mengekeh. "Kau lihat saja nanti….""Aku mau lihat sekarang!" kata Pendekar 212. Secepat kilat tangannya kanannya menyambar kedepan."Kraaakkk!"Sekali remas saja patahlah tulang telapak tangan kanan Ki Tawang Alu. Kakek ini menjerit kesakitan setinggi langit. Walau Wiro berhasil mematahkan telapak tangan kanan si kakek tapi dia harus membayar cukup mahal. Karena tak kalah cepatnya tangan kiri Ki Tawang Alu menghantam ke depan. Murid Sinto Gendeng berusaha mengelak dengan jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung uakni ilmu silat yang didapatnya dari Tua Gila, namun jotosan si kakek masih mampu mendarat telak di dada Sinto Gendeng laksana digebuk dengan palu godam raksasa. Tubuhnya mencelat lalu jatuh terjengkang ke tanah. Dadanya serasa hancur dan mendenyut sakit. Sesaat dia sulit bernafas dan pandangannya menggelap. Ketika dia berusaha menarik nafas dalam dari mulutnya keluar darah. Wiro berteriak marah. Kerahkan tenaga dalam lalu melompat bangkit. Gerakannya terhuyung-huyung. Memandang ke depan Ki Tawang Alu tak kelihatan lagi."Jahanam bermuka putih itu menculik Eyang Sinto Gendeng! Kalau sampai guruku cidera aku bersumpah akan menguliti tubuhnya!" Sambil pegangi dadanya yang sakit Wiro melangkah ke jurusan timur di mana dia menduga kaburnya kakek bernama Ki Tawang Alu INDAHMALAM gelap gulita. Udara dingin luar biasa seolah tubuh dibungkus es. Semakin tinggi ke puncak Gunung Merapi, semakin sengsara keadaan Pendekar 212. Kakinya terasa sakit dan berat, sukar diajak melangkah. Dadanya seperti diganduli batu berat. Setiap dia menarik nafas tenggorokannya terasa panas dan lehernya seperti di cekik. Hanya semangat baja dan niat untuk menyelamatkan Eyang Sinto Gendeng yang tidak diketahuinya dimana beradanya membuat Wiro akhirnya mampu sampai ke puncak timur gunung Merapi. Inipun ditempuhnya satu hari perjalanan. Jika dia tidak cidera dalam waktu setengah hari saja pasti dia sudah sampai di tempat satu pendakian berbatu-batu Pendekar 212 jatuhkan tubuhnya, duduk menjelepok di tanah."Lereng timur gunung ini luas sekali. Malam gelap begini. Dimana aku harus mencari! Kalau sampai tidak bertemu markasnya orang-orang kelompok Bumi hitam itu, bukan saja aku yang celaka, tapi Eyang Sinto Gendeng juga bakal sengsarasebelum menemui ajal! Bangsat Ki Tawang Alu! Apa yang telah kau lakukan terhadap guruku!" Wiro kepalkan tinju kiri kanan lalu sandarkan punggungnya ke sebuah batu di belakangnya. Menurut jalan pikiran Wiro, setelah tahu dimana beradanya kalung kepala srigala perak itum Ki Tawang Alu pasti menuju ke markasnya di puncak timur gunung Merapi. Itu sebabnya walau harus menyabung nyawa dan mungkin saja menemui ajal di tengah jalan, dia tetap bertekad naik puncak gunung itu untuk mencari si kakek. Kalau dia tidak sampai dapat mengorek keterangan dimana gurunya berada dan apa yang terjadi dengan nenek sakti itu, tekadnya sudah bulat untuk menyabung nyawa, memilih sama-sama mati dengan Ki Tawang Alu!Dalam keadaan menderita sakit dan letih setengah mati serta lapar dan haus sepasang mata Wiro terasa berat. Sekejapan lagi matanya hendak terpejam tiba-tiba dia melihat nyala api, kecil dan jauh sekali."Nyala api itu…" desis Pendekar 212 sambil seka darah yang masih menetes di sela bibirnya. "Aku harus menyelidik. Mungkin itu tempat kediamannya orang-orang Bumi Hitam…." Wiro bangkit berdiri. Sosoknya terhuyung-huyung. Dia memandang berkeliling. Matanya membentur satu pohon kecil. Di patahkannya salah satu cabang kecil pohon ini. Lalu dipergunakannya sebagai tongkat untuk membantunya berjalan."Anah, pukulan apa yang dihantamkan kakek muka putih itu hingga aku sengsara setengah mati begini rupa. Kapak Naga Geni 212 tidak mampu menyembuhkan. Mungkin pukulan itu beracun dan kekuatannya sanggup menghancurkan gunung! Apalagi dadaku yang hanya terdiri dari tulang dan daging! Kurang ajar! Ki Tawang Alu kau tunggu pembalasanku!"Tertatih-tatih Pendekar 212 melangkah dalam gelapnya malam dan dinginnya udara menuju nyala api di kejauhan.***EMPAT bayangan hitam berkelebat menuju lereng timur Gunung Merapi. Walau udara gelap dingin serta pohon dan semak belukar menghadang dimana-mana, namun ke empat orang itu mampu berlari secepat angin, pertanda mereka mengenal betul kawasan tersebut. Mereka bukan lain adalah Mentari Pagi dan Rembulan serta dua orang kawannya dari Kelompok Bumi selang berapa lama ke empat gadis yang mengenakan jubah serta kerudung hitam itu sampai di sebuah bangunan besar terbuat dari kayu dan memiliki kolong di sebelah bawahnya. Bangunan-bangunan serupa dalam bentuk lebih kecil kelihatan di sekeliling bangunan besar. Karena seluruh bangunan mulai dari tiang sampai dinding dan atap dilapisi cat hitam maka dalam gelapnya malam bangunan itu tampak angker sekali dan tidak ada satu peneranganpun kelihatan."Lekas naik ke atas dan salah satu dari kalian nyalakan pelita!" Mentari Pagi berkata pada teman-temannya. Dua orang segera melompati tangga rumah panggung. Mentari Pagi dan Rembulan menunggu di bawah tangga. Ketika di atas sana mereka melihat ada nyala pelita, keduanya segera melompat ke tangga. Namun gerakan mereka tertahan. Dari samping melesat satu bayangan hitam bermuka putih."Ki Tawang Alu!" seru Mentari Pagi ketika mengenali siapa yang datang."Syukur kalian sudah sampai di sini. Tadinya aku merasa khawatir…." kata kakek muka putih seraya usap dagunya. Dua matanya sesaat jelalatan. Membuat Mentari Pagi dan Rembulan merasa tidak enak. Sebenarnya sudah sejak lama para gadis dalam kelompok Bumi Hitam tidak menyenangi kakek ini. Namun kedudukannya sebagai Wakil Pimpinan membuat mereka merasa sungkan dan tetap menaruh Rembulan melihat tangan kanan si kakek dibalut gadis ini langsung bertanya. "Ki Tawang Alu, mengapa tanganmu?"Si kakek tarik nafas dalam. "Inilah yang harus aku beritahu padamu. Dalam perjalanan kesini, aku dihadang oleh pemuda asing berambut gondrong…."Mentari Pagi dan Rembulan saling berpandangan. "Maksudmu pemuda bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu…?"Si kakek mengangguk."Pasal lantaran apa dia menghadang? Padahal…""Bukan cuma menghadang. Tapi malah menyerangku tanpa sebab-musabab! Dia membuat tangan kananku cidera. Tapi aku sendiri sempat menghajarnya hingga jatuh terjengkang. Mungkin saat ini dalam keadaan sekarat atau mungkin juga sudah menemui ajal!"Mentari Pagi dan Rembulan sama-sama keluarkan seruan tertahan. Sementara itu di atas tangga bengunan besar, beberapa orang gadis berkerudung hitam yang telah membuka kerudung masing-masing memberi isyarat pada Mentari Pagi dan Rembulan. Dua gadis di bawah bangunan balas memberi isyarat."Ki Tawang Alu, pembicaraan kita lanjutkan nanti! Kami akan naik ke atas untuk mengobati Pimpinan…." berkata Mentari Pagi."Hai, rupanya kalian sudah mendapatkan kalung kepala srihgala itu?" tanya si Mentari Pagi mengangguk, Ki Tawang Alu berkata gembira. "Jasa kalian besar sekali! Pimpinan dan aku pasti tidak melupakan!""Jasa kami tidak apa-apa. Kami hanya menjalankan tugas. Yang berjasa sebenarnya adalah pemuda bernama Wiro Sableng," kata Rembulan pula. "Dia yang menyerahkan secara sukarela kalung kepala srigala itu pada kami.""Aneh, waktu kuperiksa benda itu tidak ada padanya. Tahu-tahu ada dan malah diberikan pada kalian. Kalau begitu, hemmm…. Perlihatkan dulu benda itu padaku. Biar kuperiksa…."Mentari Pagi sebenarnya ingin cepat-cepat naik ke atas rumah. Tapi si kakek sengaja tegak di depan tangga seperti menghalangi dan ulurkan tangannya. Karena Ki Tawang Alu memang adalah pimpinan mereka juga maka Mentari Pagi mau tak mau keluarkan kalung kepala srigala yang terbuat dari perak dan menyerahkannya pada si Tawang Alu menerima benda itu dengan wajah gembira dan mata berkilat-kilat. Diperhatikannya sesaat kalung kepala srigala itu. Lalu dia berbalik membelakangi dua gadis dan memegang kalung itu kearah cahaya pelita yang memancar dari bangunan sebelah atas. Sambil anggukkan kepala kakek ini lalu balikkan tubuhnya kembali dan serahkan kalung kepala srigala yang terbuat dari perak itu kepada Mentari Pagi."Lekas kau naik ke atas dan lakukan penyembuhan terhadap pimpinan kita!""Kau sendiri tidak turut menyaksikan Ki Tawang Alu?" tanya Mentari pagi seraya mengambil kalung yang diserahkan si kakek muka putih."Aku biar tetap berada di sini. Berjaga-jaga! Aku khawatir pemuda jahat itu bisa saja muncul melakukan sesuatu yang tidak kita ingini!"Rembulan hendak mengatakan sesuatu membantah ucapan si kakek. Namun Mentari pagi cepat memberi isyarat. Dua gadis ini membuka kerudung yang menutupi kepala serta wajah masing-masing. Lalu melompati tangga naik ke atas bangunan atas bangunan kayu ada satu ruangan luas diterangi sebuah pelita besar. Di salah satu sudut ruangan ada sebuah perasapan besar, mengepulkan asap menebar harumnya bau setanggi. Suasana di ruangan itu terasa mencekam dan sakral karena setiap dinding di hias dengan bunga-bunga aneh terbuat dari kain berwarna orang gadis berjubah hitam tanpa kerudung tegak mengelilingi sebuah pembaringan. Ada sesosok tubuh terbujur di atas pembaringan ini, tertutup dengan sehelai kain sutera tipis berwarna hitam. Salah seorang dari tujuh gadis itu memegang sebuah bokor terbuat dari kuningan. Bokor ini berisi air sangat jernih dan dingin karena berasal dari embun yang di kumpulkan. Tujuh bunga melati mengapung di permukaan air dalam Mentari Pagi dan Rembulan masuk ke dalam ruangan, tujuh gadis segera menyibak memberi tempat. Mentari Pagi dan Rembulan mengambil tempat berdiri di dekat kepala sosok yang terbujur di atas pembaringan. Sesaat setelah menatap sosok yang ada di atas pembaringan itu, Mentari Pagi keluarkan kalung kepala srigala dari balik jubah hitamnya lalu dimasukkan ke dalam bokor gadis memberikan sebatang tongkat kecil terbuat dari bambu. Dengan tongkat ini Mentari lalu mengaduk cairan dalam bokor. Terdengar suara berkelentingan ketika kalung kepala srigala yang berputar-putar bersentuhan dengan dinding bokor. Setelah itu seorang gadis lain memberikan sebuah benda berbentuk koas terbuat dari benang sangat halus. Mentari celupkan koas ini kedalam bokor lalu memberi isyarat pada tangan gemetar Rembulan pegang ujung kain sutera hitam di bagian kepala orang yang terbujur di atas pembaringan. Semua mata yang ada di ruangan itu memandang tak berkesip. Mereka menunggu dengan dada dan sangat berhati-hati Rembulan menarik kain sutera hitam itu dari kepala ke arah kaki. Beberapa mata tampak seperti mau dipicingkan begitu mereka melihat wajah yang tersingkap, di susul bagian dada dan perut terus ke paha dan sampai di ujung kaki. Rata-rata para gadis yang ada di situ merasakan tengkuk mereka menjadi di atas pembaringan ternyata adalah satu sosok seorang nenek berambut putih. Kulit diwajah maupun di sekujur tubuh sampai ke kaki hanya merupakan kulit keriput sangat hitam dan tak lebih sabagai pembalut tulang. Sosok itu tidak bergerak bahkan bernafas pun seperti tidak. Dua matanya Pagi memutar pandangan matanya berkeliling. Kecuali gadis yang memegang bokor dan dirinya sendiri, maka semua yang ada di tempat itu mengangkat tangan, menampungkan telapak tangan ke atas, sejajar dengan kepala. Mulut mereka berkomat-kamit. Lalu terdengar suara menggema perlahan seperti orang berdoa. Mentari memegang gagang koas di dalam bokor. Lalu perlahan-lahan koas itu di angkatnya. Bagian koas yang basah dengan hati-hati disapukannya ke wajah orang yang terbujur. Begitu air di permukaan koas mengering, koas di celupkannya ke dalam bokor lalu diangkat lagi dan kembali disapukan di seluruh permukaan wajah. Selesai membasahi wajah, koas berpindah disapukan ke bagian dada, perut, terus pada dua kaki. Tidak ada satu bagian tubuhpun, depan dan belakang yang tidak diusap dibasahi dengan air dalam bokor selesai melakukan hal itu Mentari Pagi usap-usap dua tangannya lalu seperti teman-temannya dia menampungkan dua tangan ke atas. Dari mulutnya perlahan-lahan keluar ucapan. Bersamaan dengan itu semua mata di pejamkan."Gusti Allah, Penguasa Yang Maha Kuasa. Kau Yang Maha Pengasih. Dengan KasihMu Kau menjadi Yang Maha Penyembuh. Dengan Kasih dan KuasaMu kami memohon, sembuhkanlah Pelangi Indah Pimpinan kami. Karena hanya kepada Engkaulah tempat kami meminta."Setelah beberapa saat, diikuti oleh gadis-gadis lainnya Mentari Pagi buka ke dua matanya. Mereka memandang ke sosok tubuh di atas pembaringan. Lalu saling pandang satu dengan lainnya. Paras mereka jelas tampak berubah, pucat dan sangat khawatir."Tuhan tidak mendengar permintaan kita! Sosok pimpinan kita tidak berubah…." kata Mentari Pagi dengan suara mata mulai tampak berkaca-kaca. Di antara para gadis ada yang tidak dapat membendung tetesan air mata mereka. Rembulan tundukkan kepala menahan sesenggukan. Ketika dia hendak menutup kain sutera hitam itu kembali, Mentari Pagi mencegah. Gadis ini memberi isyarat pada temannya yang memegang bokor kuningan. Yang di beri isyarat datang mendekat. Dengan agak gemetar Mentari Pagi lalu celupkan tangannya ke dalam bokor, mengambil kalung kepala srigala yang terbuat dari perak murni. Lalu dia melangkah mendekati pelita besar di sudut bawah penerangan pelita Mentari Pagi dan Rembulan serta beberapa gadis perhatikan dengan seksama kalung perak itu."Palsu!" kata Mentari pagi dengan suara keras tapi bergetar. "Kalung ini palsu!"***3MUSUH DALAM SELIMUTRUANGAN di atas rumah panggung itu menjadi geger. "Kita tertipu!" ujar Rembulan dengan muka pucat."Pemuda bernama Wiro Sableng itu menipu kita! Memberikan kalung palsu mencuri yang asli!" kata Mentari Pagi penuh geram sambil kepalkan tangan."Rembulan! Pimpin enam orang kawanmu! Cari pemuda itu sampai dapat! Seret ke sini! Jika dia melawan bunuh di tempat!""Akan kulakukan!" jawab Rembulan. "Namun ada satu hal perlu aku tanyakan. Jika pemuda itu memang memalsukan kalung kepala srigala itu, kapan dan bagaimana dia bisa melakukannya? Membuat kalung tiruan tidak mudah. Perlu waktu dan perlu seorang juru tempa yang ahli! Sedang pemuda itu satu malam lalu kita temui. Mungkin kalung itu didapatnya sudah dalam keadaan palsu?""Maksudmu Lima Laknat Malam Kliwon yang memalsukan?""Aku menduga begitu," jawab Rembulan."Aku tidak sependapat denganmu. Lagi pula aku sangsikan kebenaran ucapanmu. Karena suara hatimu dipengaruhi oleh suara batin. Karena kau menyukai pemuda itu. Aku tetap yakin dia yang memalsukan kalung itu. Bukankah sejak dulu aku sudah mengatakan dia bukan saja memiliki kepandaian silat dan kesaktian tinggi tapi juga kecerdikan luar biasa seperti ular! Dengar, aku tahu hatimu meragu! Biar aku sendiri yang akan memimpin pencarian atas dirinya!""Aku tetap ikut bersamamu!" kata Rembulan. Begitu Mentari Pagi dan enam kawannya keluar dari kamar Rembulan segera mengikuti. Semua gadis ini kembali mengenakan kerudung bawah tangga Ki Tawang Alu menunggu dengan muka menunjukkan kekhawatiran."Aku mendengar suara ribut-ribut di atas sana. Ada apa?" si kakek Pagi acungkan kalung kepala srigala sambil berkata. "Kalung yang diberikan pemuda bernama Wiro Sableng itu ternyata kalung palsu! Sama sekali tidak mempunyai kekuatan dan berkah kesaktian untuk menyembuhkan pimpinan kita Pelangi Indah!"Muka putih Ki Tawang Alu menjadi merah saking marahnya. "Sedari semula aku sudah tahu kalau pemuda itu licik! Saat ini dia pasti sudah meregang nyawa akibat hantamanku!""Kita harus memastikan! Aku dan kawan-kawan akan mencarinya! Menggebuknya sampai setengah mati sebelum dia mengaku dimana beradanya kalung yang asli!""Mentari Pagi, sebaiknya kau tetap berada di sini menjaga pimpinan" kita. Biar aku yang mencari pemuda laknat itu!" kata kakek muka putih pula."Kalian tak usah bersusah payah! Aku sudah ada disini!" Tiba-tiba satu suara menyeruak dari kegelapan. Sesaat kemudian seorang berpakaian putih muncul dengan langkah terhuyung-huyung. Tak berapa jauh dari tangga, orang ini tergelimpang jatuh menelungkup."Pendekar 212 Wiro Sableng! Dia yang menipu kita!" teriak Ki Tawang Alu lalu melompat dan injakkan kaki kanannya ke tengkuk orang yang bergelimpang di tanah."Ki Tawang Alu, kau pasti telah menganiaya guruku! Kalau kau tidak memberitahu dimana kau sembunyikan guruku, kubunuh kau saat ini juga!""Pemuda ular! Orang bicara lain kau bicara lain!" bentak Mentari Pagi. "Mana kalung kepala srigala yang asli!"Wiro melirik ke atas. "Kau tentu Mentari Pagi. Bukankah aku sudah menyerahkan benda itu malam kemarin?!"Betul! Tapi yang kau berikan padanya adalah kalung kepala srigala palsu" kata Ki Tawang Alu sambil pindahkan injakannya dari tengkuk ke kepala Pendekar 212. Kau binatang cerdik! Penipu keparat!""Kakek muka putih! jaga mulutmu! Bukan aku binatang cerdik tapi kau yang jahanam busuk! Malam lalu kau sengaja menghadangku menanyakan kalung kepala srigala itu. Karena kau tahu aku menyembunyikan kalung itu dalam mulutku! Kau kecewa begitu mengetahui kalung itu telah kuserahkan pada Mentari Pagi. Tapi dasar kau manusia jahat busuk! Sebelumnya kau telah menganiaya dan menculik guruku!"Kakek muka putih tertawa mengekeh. "Kau pandai bersilat lidah menutupi kekejianmu sendiri! Buat apa bicara panjang lebar denganmu! Mampus lebih baik bagimu!""Tunggu! Jangan bunuh dia sebelum dia memberitahu dimana kalung asli itu berada !" berseru Mentari Pagi."Mentari Pagi, kau pernah bersumpah atas nama Gusti Allah bahwa kalung itu adalah milik pimpinanmu! Saat ini aku juga bersumpah demi Gusti Allah, kalung yang kuserahkan padamu adalah satu-satunya kalung yang ada padaku….."Mentari Pagi dan Rembulan serta semua gadis berkerudung di tempat itu menjadi terkesima mendengar ucapan Wiro itu. Namun Ki Tawang Alu cepat memotong dengan hardikan."Siapa percaya sumpah manusia bejat sepertimu!"Wiro tidak perdulikan hardikan si kakek. Dia tetap menatap ke arah Mentari Pagi dan lanjutkan ucapannya. "Kalau sekarang kalian cerita segala macam kalung palsu pasti salah satu di antara kalian di sini yang telah melakukan keculasan!"Mendengar kata-kata Wiro itu Rembulan bergerak mendekati Mentari Pagi dan membisiki sesuatu."Mulutmu berbisa! Otakmu kotor! Kau memang layak mampus saat ini juga!" teriak Ki Tawang Alu marah. Kaki kanannya diinjakkan keras-keras ke kepala Wiro. Bila hal itu sampai terjadi niscaya kepala murid Sinto Gendeng ini akan pecah berantakan. Karena Ki Tawang Alu pergunakan kesaktian yang di sebut Injakan Seribu Kati. Jangankan batok kepala manusia, batu besarpun akan hancur lebur!Sesaat sebelum kaki Ki Tawang Alu bergerak menginjak, Wiro selinapkan tangan kirinya ke pinggang. Lalu tahu-tahu berkiblat sinar putih dalam gelapnya malam. Udara menjadi panas dan suara seolah ada seribu tawon menyerbu mengaungi tempat orang berseru kaget sambil bersurut mundur. Ki Tawang Alu melompat sampai satu tombak. Sedikit saja dia terlambat kaki kanannya yang tadi dipakai menginjak kepala Wiro akan terbabat 212 tegak agak terhuyung. Di tangan kanannya tergenggam Kapak Maut Naga Geni 212. Pengerahan tenaga dalam waktu membabatkan senjata mustikanya tadi membuat darah kembali mengucur di sela-sela bibirnya."Berani mencari mati! Makan tanganku!" teriak Ki Tawang Alu. Tangannya melesat ke depan. Tangan itu telah berubah menjadi kaki srigala. Kuku-kuku runcing mencuat ke depan, membeset ke arah batang leher Wiro. Wiro kembali kiblatkan kapak saktinya. Lawan bertindak cepat dan cerdik. Sambil tundukan kepala dan mengelak ke samping si kakek kembali menyerang. Kali ini dengan tangan kirinya."Breeeetttt!"Pakaian Wiro robek besar di bahu sebelah kiri. Murid Sinto Gendeng cepat bertindak mundur. Merasa di atas angin Ki Tawang Alu kembali menggempur. Dia pergunakan dua tangannya yang berbentuk kaki-kaki srigala itu. Yang kiri menyambar ke muka sedangkan yang kanan membeset ke perut Pendekar 212. Kali ini si kakek terlalu menganggap enteng senjata di tangan tekuk salah satu lututnya seraya mundurkan kaki yang lain. Kapak Naga Geni 212 yang sudah dipindah ke tangan kanan melesat ke depan. Sinar putih menyambung dikegelapan malam disertai suara mengaung dan hamparan hawa panas. Lalu craaassss!Ki Tawang Alu menjerit setinggi langit. Darah muncrat dari tangan kirinya yang buntung karena tidak sempat ditarik selamatkan diri. Mukanya yang putih berubah merah mengelam. Terhuyung-huyung dia mundur menjauhi lawan. Susah payah dengan tangan kanannya dia menotok urat besar di pangkal leher serta lipatan siku. Darah serta merta berhenti tapi rasa sakit dan hawa panas menjalari sekujur tubuhnya. Tangan kirinya terkulai tidak bisa di gerakkan lagi. Kalau saja tadi dia tidak menotok lengannya niscaya racun Kapak Maut Naga Geni 212 akan menjalar sampai ke dalam jantungnya dan nyawanya tidak tertolong lagi. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan itu si kakek segera berteriak pada gadis-gadis berkerudung hitam."Orang telah mencelakai diriku! Jangan diam saja! Lekas bunuh pemuda jahanam itu!"Beberapa orang gadis siap bergerak. Namun mereka menunggu isyarat dari Mentari Pagi yang saat itu tampak ragu. Apalagi gadis bernama Rembulan. Sejak tadi dia tidak percaya pada semua ucapan kakek muka putih. Selain itu semua gadis merasa ngeri melihat kedahsyatan kapak bermata dua di tangan Wiro."Kalian boleh membunuhku!" kata Wiro seraya sisipkan senjata mustikanya ke pinggang. Lututnya tertekuk. Luka dalam akibat pukulan Ki Tawang Alu malam lalu cukup parah. Dalam keadaan jatuh berlutut dia teruskan ucapannya. "Tapi sebelum menghabisiku, geladah dulu tua bangka muka putih itu. Bagaimana caranya aku tidak tahu! Tapi aku merasa yakin kalung srigala yang asli itu ada padanya!""Aku pimpinan di sini! Aku yang memberi perintah pada kalian! Jangan dengarkan ucapannya yang beracun! Lekas bunuh pemuda itu!" teriak Ki Tawang Alu. Tubuhnya terasa semakin panas dan jalan darahnya tidak berbisik pada Mentari Pagi. "Apa yang di katakan pemuda itu mungkin betul. Aku ingat sewaktu Ki Tawang Alu memegang kalung kepala srigala yang kau serahkan padanya. Saat itu dia membalikkan badan, mengarahkan kalung ke cahaya pelita di atas rumah. Kita semua tahu dia memiliki kepandaian Secepat Kilat Membalik Tangan. Bukan mustahil dia menukar kalung itu dengan yang palsu….""Beri isyarat pada teman-teman untuk mengurung…." balas berbisik Mentari Pagi. Lalu dia maju mendekati si kakek."Ki Tawang Alu, kau terluka parah. Perlu mendapat rawatan. Sebaiknya kau lekas naik ke atas rumah. Tapi sebelumnya aku ingin mengatakan sesuatu dulu. Jika sekiranya kecurigaan kami keliru harap dimaafkan. Menurut pemuda itu kau kembali menemuinya untuk meminta kalung kepala srigala itu. Padahal sebelumnya di depan kami kau telah menggeledah dan menyatakan kalung itu tidak ada padanya. Mana yang benar. Kalung yang di berikan pemuda itu padaku aku yakin itu adalah kalung yang asli. Bagaimana tiba-tiba berubah menjadi kalung palsu yang tidak ada khasiatnya, apakah kau bisa menerangkan?""Mentari Pagi!" kata Ki Tawang Alu dengan suara bergetar dan rahang menggembung. "Kau tidak layak menanyai diriku. Jika kau memaksa kau akan kupecat sebagai anggota Kelompok Bumi Hitam dan kuusir dari tempat ini! Kau dengar?!""Aku mendengar dan mohon maafmu. Tapi jika kau tidak mau menjawab pertanyaanku tadi, terpaksa kami menggeledah dirimu!""Gadis kurang ajar! Berani kau berkata begitu! Kau dan kawan-kawanmu telah termakan ucapan pemuda sinting itu!" Ki Tawang Alu bicara setengah berteriak. Selain itu diam-diam dia memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ternyata para gadis yang berjumlah lebih setengah lusin itu telah mengurungnya. "Kalian semua lekas naik ke atas rumah! Biar aku menghabisi pemuda itu!"Mentari Pagi dan Rembulan cepat menghadang gerakan si kakek ketika Ki Tawang Alu hendak mendekati Pendekar 212 Wiro Sableng. Habislah kesabaran Wakil Pimpinan Kelompok Bumi Hitam ini. Didahului teriakan garang dia menyerang Mentari Pagi dengan tangan kanannya yang cidera dan saat itu telah berubah menjadi kaki srigala. Mentari Pagi dan kawan-kawannya tak tinggal diam. perkelahian delapan lawan satu segera berkecamuk sementara Pendekar 212 yang terduduk di tanah hanya bisa Wakil Pimpinan Kelompok Bumi Hitam tentu saja Ki Tawang Alu memiliki kepandaian tinggi. Namun dikeroyok lawan begitu banyak yang rata-rata memiliki kepandaian hanya satu atau dua tingkat saja dibawahnya, apalagi dia dalam keadaan luka dan cuma punya satu tangan, setelah bertempur empat jurus si kakek muka putih segera terdesak Pagi dan kawan-kawannya sebanarnya tidak bermaksud menurunkan tangan jahat terhadap Ki Tawang Alu yang bagaimanapun tetap mereka hormati sebagai pimpinan mereka. Karenanya mereka hanya berusaha merobek pakaian si kakek di beberapa bagian tertentu. Mengira dirinya hendak di telanjangi orang Ki Tawang Alu jadi naik pitam dan mengamuk. Tapi gerakannya yang sembrawutan membuat keadaannya malah tambah terdesak."Breeetttt!"Tangan kanan Mentari Pagi yang berubah bentuk seperti kaki srigala berhasil merobek pakaian Ki Tawang Alu di pinggang kiri. Sebuah kantong kain yang tergantung di balik pakaiannya ikut robek dan terpental ke udara. Dari robekan kantong melesat keluar sebuah benda putih perak. Ki Tawang Alu cepat melompat, berusaha menjangkau benda itu. Namun satu sambaran angin dengan keras melabrak tubuhnya hingga dia terpental dan jatuh terbanting di tanah. Ternyata dalam keadaan luka di dalam yang cukup parah Pendekar 212 Wiro Sableng masih mampu lancarkan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Untuk sesaat si kakek terhenyak tak berkutik di tanah. Dari mulutnya meleleh darah kental!Benda yang melesat ke udara jatuh ke bawah. Sebelum menyentuh tanah Wiro cepat ulurkan tangan kanannya menyambuti benda itu, yang ternyata adalah kalung kepala srigala terbuat dari perak putih. Begitu kalung berada dalam genggamannya satu hawa aneh mengalir masuk ke dalam tubuhnya. Rasa sakit di dadanya agak berkurang walau sekujur badannya masih teras Pagi, Rembulan dan semua gadis yang berada di tempat itu cepat mendatangi Wiro. Mereka memperhatikan tangan kanan si pemuda yang menggenggam. Perlahan-lahan murid Sinto Gendeng buka genggaman tangannya. Terlihatlah kalung kepala srigala putih bermata merah. Wiro angkat tangannya ke arah Mentari Pagi."Ambillah! Aku yakin ini kalung asli. Aku merasakan ada hawa aneh masuk ke tubuhku begitu benda ini berada dalam genggamanku…" kata Pendekar 212 SERATUS TAHUNREMBULANdan tiga orang gadis anggota kelompok yang menamakan diri Kelompok Bumi Hitam membawa murid Sinto Gendeng ke dalam sebuah kamar. Kamar ini bersebelahan dengan kamar besar di mana Pelangi Indah, pimpinan Kelompok Bumi Hitam berada. Wiro di baringkan di atas sebuah ranjang kayu. Seseorang masuk membawa sebuah pelita kecil. Empat Gadis membuka kerudung hitam masing-masing hingga Wiro dapat melihat wajah mereka yang cantik-cantik."Kalian hendak melakukan apa?" tanya Pendekar 212. Matanya menatap ke arah Rembulan."Kau dalam keadaan terluka parah. Kakek muka putih itu telah memukul dadamu di arah jantung dengan pukulan Seribu Kati. Jika tidak diobati nyawamu mungkin tidak tertolong. Tapi saat ini ada hal lain yang harus kami dahulukan. Yaitu menolong Pelangi Indah pimpinan kami. Kami akan kembali kesini. Kalau kami kembali harap kau sudah membuka bajumu! Harap kau berbaring dan jangan banyak bergerak. Jangan sekali-kali turun dari atas ranjang. Apapun yang kelak kau dengar tidak usah mejadi perhatianmu apalagi kau pikirkan.""Membuka baju? Aku… Hai tunggu!" Wiro berpaling. "Tetaplah tenang di atas ranjang. Jangan banyak bertanya, jangan bergerak. Kami harus menolong pimpinan kami. Jika dia bisa diselamatkan maka kau juga akan dapat diselamatkan. Tapi jika dia tidak bisa diselamatkan berarti nyawamupun tidak mungkin ditolong!"Paras Pendekar 212 berubah. "Rembulan tunggu dulu. Ada yang hendak aku tanyakan…" kata gadis-gadis itu sudah meninggalkan kamar dan menutup pintu. Pendekar 212 memandang seputar kamar. Dia mencium bau wangi setanggi. Tapi di kamar itu tak ada perasaan pertanda bau itu datang dari ruangan lain. "Aneh, bangunan dan juga kamar ini berwarna hitam pekat. Di dinding ada bunga-bunga hiasan terbuat dari kain. Juga berwarna hitam. Tempat apa ini? Siapa gadis-gadis itu sebenarnya? Hal apa yang menimpa diri pimpinan mereka? Lalu kalau mau mengobati mangapa aku harus berbaring begini rupa. Aku di suruh membuka baju! Aneh! Jangan-jangan mereka bukan mau mengobati diriku. Tapi hendak menepati janji yang mereka ucapkan malam itu! Mau menyerahkan diri padaku…."Selagi Wiro berpikir-pikir sperti itu tiba-tiba dari ruangan sebelah dia mendengar suara orang banyak seperti tengah membaca doa. "Gadis-gadis itu…" desis Wiro. "Mereka menyebut-nyebut nama Gusti Allah, menyebut Tuhan. Berarti mereka memang bukan orang-orang persilatan golongan sesat. Biar kuintip apa yang terjadi di ruangan sebelah."Mendadak sang pendekar menjadi tercekat. Telinganya menangkap suara sesuatu. "Suara mengereng. Walau halus tapi aku yakin itu suara binatang…."Perlahan-lahan Wiro turun dari atas ranjang. Tanpa suara dia melangkah mendekati dinding kamar dari balik mana dia mendengar suara orang-orang berdoa. Mula-mula dia hanya menempelkan telinganya kedinding. Lalu memperhatikan dinding itu dengan teliti sambil meraba-raba. "Ini satu keanehan lagi. Dinding ini jelas terbuat dari kayu. Dari papan yang disambung satu dengan lain. Tapi mengapa tidak ada sedikit celahpun? Aku tak bisa mengintip…." Wiro memandang ke arah pintu di sebelah kanan. Dia dekati pintu ini dan pergunakan tangannya untuk membuka. Tidak bisa. Pintu tak dapat terbuka. Dicobanya mencongkel juga tak berhasil. Akhirnya dikeluarkannya Kapak Maut Naga Geni 212. namun baru tangannya meraba senjata mustika itu, di ruang sebelah terdengar suara riuh, diseling suara seperti isak tangis. Lalu ada suara kaki-kaki melangkah. Wiro batalkan niatnya membuka pintu dengan kapak lalu kembali naik ke atas tempat tidur.***Di kamar sebelah tempat pimpinan Kelompok Bumi Hitam terbaring dalam tubuh tak bergerak, mata terpejam dan sekujur kulit berwarna hitam keriput. Mentari Pagi masukkan kalung kepala srigala yang asli ke dalam bokor kuningan. Saat itu juga air di dalam bokor mengepulkan asap putih. Hawa sejuk membungkus seluruh ruangan. Pelita besar menyala lebih terang dan bau setanggi di sudut ruangan menebar lebih yang dilakukan sebelumnya, para gadis lalu memanjatkan doa meminta kesembuhan atas diri pimpinan mereka kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Lalu dengan koas halus Mentari Pagi sapukan air di dalam bokor ke seluruh permukaan kulit wajah dan tubuh orang yang terbaring di atas ranjang dalam ujud nenek-nenek. Juga seperti sebelumnya semua gadis itu menunggu dengan perasaan cemas khawatir. Namun perasaan itu serta merta lenyap. Di balik harapan yang muncul menyeruak rasa ngeri melihat apa yang kemudian terjadi, walau mereka telah pernah menyaksikan hal itu sebelumnya sampai dua dan sosok tubuh yang di poles dengan air kembang dari dalam bokor kuningan mengeluarkan hawa seperti kabut tipis yang memancarkan tujuh warna pelangi. Kabut ini kemudian bergulung menjadi satu lalu perlahan-lahan bergerak ke arah bokor kuningan. Bokor yang di pegang salah seorang gadis itu tiba-tiba bergerak keras dan memancarkan cahaya terjadilah satu hal luar biasa. Dari dalam bokor melayang keluar kalung perak berbentuk kepala srigala bermata merah. Sedikit demi sedikit kalung itu membesar. Sepasang matanya yang merah menyorotkan cahaya merah muda, lalu berubah menjadi merah pekat. Perubahan ukuran kepala srigala itu semakin besar hingga kini mencapai dua kali kepala srigala sungguhan. Sorotan dua sinar merah yang keluar dari mata semakin terang dan angker seperti sambaran nyala api. Tapi sebaliknya sinar itu tidak mengeluarkan hawa panas melainkan sejuk luar srigala julurkan lidahnya beberapa kali lalu bergerak melayang ke tengah ruangan. Setelah berputar-putar sebanyak tujuh kali di atas pembaringan, kepala ini bergerak menukik. Dua sinar merah yang keluar dari matanya menyapu wajah, dada, perut terus ke paha dan samping ke ujung kaki orang yang terbujur di atas ranjang. Hal ini terjadi sampai tujuh kali luar biasa kembali terjadi. Sosok wajah dan tubuh yang tadi keriput hitam itu perlahan-lahan membentuk daging yang dilapisi kulit segar berwarna putih. Rambut panjang tergerai yang tadinya berwarna putih kini telah berubah menjadi subur hitam berkilat. Sepasang mata yang sejak tadi terpejam perlahan-lahan terbuka. Dan seulas senyum merekah di bibir yang sebelumnya selalu terkatup. Kini kelihatanlah satu sosok tubuh seorang gadis berambut hitam, berwajah luar biasa cantiknya. Inilah Pelangi Indah, pimpinan Kelompok Bumi Hitam. Wajah dan sosok tubuhnya yang bagus mulus sesuai dengan gadis yang ada di sekeliling pembaringan menyerukan rasa syukur, berulang kali menyebut nama Tuhan bahkan ada yang setengah berlutut dan keluarkan isak udara dalam ruangan, kepala srigala raksasa perlahan-lahan menyusut menjadi kecil kembali hingga akhirnya kembali ke bentuknya semula berupa kalung perak. Kalung kepala srigala ini kemudian melayang tujuh kali lalu masuk kembali ke dalam bokor berisi air kembang Pagi cepat ambil kalung di dalam bokor sementara di atas pembaringan sosok Pelangi Indah bergerak bangkit dan duduk. Rembulan cepat menutupi tubuh yang tidak terlindungi itu dengan sehelai jubah tipis berwarna itam. Mentari Pagi mengikatkan sehelai ikat kepala ke kening sang pemimpin. Ikat kepala ini terbuat dari kain sutera hitam yang di bagian tengahnya melekat satu batu permata berwarna hitam tapi memancarkan cahaya seperti pelangi. Dengan sutera barbatu permata itu terikat di keningnya, Pelangi Indah bukan saja tambah cantik jelita tapi juga gagah sekali, penuh wibawa. Mentari Pagi ulurkan tangannya menyerahkan kalung kepala srigala yang terbuat dari perak kepada sang pemimpin. Pelangi Indah ambil benda itu lalu menciumnya penuh takzim, kemudian memasukkannya ke dalam satu kantong di sebelah dalam pakaian sutera hitamnya. Setelah itu dia memandang pada gadis-gadis yang mengelilinginya di seputar ranjang."Untuk ke tiga kalinya kalian telah berbuat jasa besar. Menyembuhkan aku dari penyakit yang selama ini kuderita dan tak pernah bisa disembuhkan kalau tidak dengan kalung sakti kepala srigala yang terbuat dari perak murni itu. Beberapa waktu lalu kalung yang juga merupakan lambang kepemimpinan Kelompok Bumi Hitam itu telah lenyap di curi orang. Kalian berhasil mendapatkannya kembali dan menyembuhkan aku dari santet Seratus Tahun yang membuat aku berubah menjadi seorang nenek-nenek buruk mengerikan. Tidak tahu aku bagaimana harus membalas budi jasa kalian…."Semua gadis yang ada di seputar ranjang jatuhkan diri berlutut. Mentari Pagi mewakili mereka bicara."Kami adalah anggota Kelompok Bumi Hitam. Kami adalah anak buahmu dan kau adalah pimpinan kami! Semua apa yang kami lakukan merupakan satu kewajiban. Labih dari itu kami menganggapnya sebagai tugas suci. Jadi kami mohon pimpinan jangan bicara segala budi dan jasa."Pelangi Indah tersenyum dan pegangi pundak Mentari Pagi. "Ada dua hal yang tidak biasanya kulihat dan kurasakan saat ini. Pertama, aku tidak melihat Ki Tawang Alu, kakek yang menjadi Wakilku. Kedua aku merasa ada tarikan nafas berat seseorang dibalik ruangan sebelah kiri. Dapatkah kalian menerangkan?""Pimpinan kami Pelangi Indah," berkata Mentari Pagi. "Sebenarnya kesembuhan itu sangat berkait dengan pertolongan seorang pemuda. Berminggu-minggu kami mencari kalung yang hilang. Ternyata kalung mustika itu ditemukan oleh sipemuda. Dengan sukarela dia menyerahkan kalung itu pada kami. Mengenai Ki Tawang Alu, kakek muka putih itu ternyata memang ular kepala dua, musuh dalam selimut. Rembulan, harap kau menuturkan apa yang telah terjadi…"Rembulan lalu menceritakan riwayat pengkhianatan Ki Tawang Alu. Pelangi Indah gelengkan kepalanya. Wajahnya tampak merah pertanda marah."Aku memang sudah lama menaruh curiga pada manusia satu itu. Kalau saja tidak mengingat pesan Eyang Palopo, sejak dulu dia sudah kuusir dari sini. Tapi sudahlah, buat apa memikirkan si pengkhianat itu. Dia seudah menerima balasan. Menjadi cacat seumur hidup. Tapi kita harus berwaspada. Dia pasti akan mendekam dendam kesumat dan sewaktu-waktu muncul lagi membalaskan sakit hati.""Kami siap siaga dan selalu waspada menjaga segala kemungkinan," kata Mentari Pelangi Indah bertanya. "Mengenai pemuda yang telah menolong dan menyerahkan kalung mustika sakti, bahkan sampai mempertaruhkan jiwanya itu, siapakah namanya dan dimana beradanya sekarang?""Namanya Wiro Sableng. Konon dia yang berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…." jawab Mentari Pelangi Indah sampai gadis ini bergerak turun dari atas ranjang dan menatap lekat-lekat pada Mentari Pagi, lalu memandang berkeliling pada anak buahnya."Tidak salahkah telingaku mendengar?!""Tidak, yang aku ucapkan memang nama itu. Wiro Sableng, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 dari Gunung Gede," mengulang Mentari Rembulan menambahkan. "Pemuda itu sekarang ada dikamar sebelah. Dia berada dalam keadaan…."Belum selesai ucapan Rembulan, Pelangi Indah telah keluar dari pintu ruangan.***bersambung……………***5KECUPAN DALAM GELAPBEGITU mendengar pintu terbuka, murid Eyang Sinto Gendeng segera pejamkan mata, berpura-pura tidak sadarkan diri. Tubuhnya tidak bergerak sedikitpun. Diam-diam dia alirkan hawa sakti dingin hingga sekujur permukaan kulitnya menjadi di depan tempat tidur, didampingi oleh para anak buahnya, Pelangi Indah pandangi wajah dan sosok Pendekar 212. Dari mulutnya meluncur perlahan kata-kata. "Sepuluh tahun lebih aku menunggu, akhirnya dapat juga aku bertemu muka dengan pendekar ini…."Dua tangan Pelangi Indah bergerak ke depan lalu breeettt! Dia robek dada pakaian Wiro. Seorang anak buahnya disuruh mengambil pelita dalam ruangan lalu didekatkan ke tepi tempat tidur."Pukulan Seribu Kati!" kata Pelangi Indah agak tercekat ketika melihat tanda biru pada bagian dada kiri Wiro yang menggembung bengkak. "Ki Tawang Alu benar-benar berniat jahat hendak membunuhnya dengan pukulan beracun itu…""Setahu kami senjata berbentuk kapak yang terselip di pinggang Pendekar 212 adalah senjata yang sangat ampuh melindungi diri dari racun. Juga bisa di pakai untuk menyedot racun. Bagaimana mungkin sekarang dia tidak mampu melakukan sesuatu….?"Pelangi Indah menjawab. "Setiap senjata mustika sakti bukanlah segala-galanya. Apa kau tidak pernah mendengar ujar-ujar bahwa di atas langit masih ada langit lagi? Keadaannya cukup parah. Kalau tidak lekas di tangani nyawanya tak bakal tertolong…"Mentari Pagi ulurkan tangan memegang lengan Wiro. "Dingin…. Aliran darahnya mungkin sudah mulai menyendat…."Pelangi Indah cabut Kapak Naga Geni 212 dari pinggang Wiro lalu menyerahkannya pada Rembulan. Ketika dia memeriksa lagi bagian lain dari pinggang murid Sinto Gendeng itu dan menemukan batu hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni 212 terkejutlah pimpinan Kelompok Bumi Hitam ini. Tubuhnya bergetar dan perlahan-lahan dia jatuhkan diri, membungkuk dengan satu lutut bersitekan ke lantai kayu. Tentu saja hal ini membuat heran semua gadis yang ada di situ. Dia adalah pimpinan tertinggi dalam Kelompok Bumi Hitam. Sementara Wiro walaupun punya nama besar di rimba persilatan tetapi adalah orang luar. Mengapa kini pimpinan mereka jatuhkan diri berlutut sambil pegang batu hitam dan menekapkannya ke dada?"Eyang Palopo…" suara Pelangi Indah bergetar perlahan. "Batu mustika sakti yang kau katakan itu telah kutemukan. Hanya sayang sudah menjadi milik orang lain. Aku tidak dapat mengikuti pesanmu. Aku tidak mau mengambil benda yang bukan milikku walau menurutmu asal usul batu ini adalah milik nenek moyang kita…."Pelangi Indah cium batu hitam itu dengan khidmat lalu diserahkannya pada Mentari Pagi. "Rembulan dan Mentari Pagi, jaga baik-baik dua senjata sakti milik pemuda ini. Kembalikan padanya jika dia sudah sembuh kelak. Sekarang kalian semua keluarlah dari kamar ini. Aku akan mengobatinya. Semoga Tuhan menolong diriku dan dirinya….""Pimpinan kami Pelangi Indah, jika kau tidak berkeberatan, aku sanggup membebaskannya dari racun Pukulan Seribu Kati." berkata Mentari Pagi."Dia telah menyelamatkan diriku dengan menyerahkan kalung kepala srigala. Kini giliranku untuk meyelamatkan jiwanya," jawab Pelangi Indah ucapan sang Pemimpin walaupun diam-diam merasa kecewa Mentari Pagi, Rembulan dan yang lain-lain sama membungkuk lalu tinggalkan kamar itu. Setelah hanya tinggal berdua, Pelangi Indah sentuh kening Wiro dengan telapak tangan kirinya. Terasa dingin. Dia tersenyum lalu berkata."Pendekar dari Gunung Gede, aku kagum dengan kekuatanmu, mampu bertahan terhadap pukulan beracun pukulan Seribu Kati. Orang lain mungkin sudah menemui ajal. Tapi bagaimanapun juga racun dalam tubuhmu harus dikeluarkan. Hanya satu hal yang aku heran. Mengapa kau berpura-pura pingsan dan alirkan hawa dingin ke permukaan kulitmu? Aku mendengar selain berkepandaian tinggi kau adalah seorang pemuda konyol yang suka menggoda orang. Mungkin hal itu benar adanya…."Menyadari orang sudah mengetahui perbuatannya berpura-pura, sambil menahan tawa murid Sinto Gendeng segera buka matanya. Begitu dia melihat wajah di atasnya langsung saja dia terkesima. Dia telah menyaksikan kecantikan wajah Mentari Pagi yang anggun penuh wibawa. Dia juga telah melihat kejelitaan paras Rembulan yang sulit di cari bandingnya. Namun ternyata wajah gadis bernama Pelangi Indah yang jadi pimpinan Kelompok Bumi Hitam itu melebihi kedua gadis itu. Selain cantik dan berkulit putih mulus, dengan ikatan kain sutera hitam di kepalanya Pelangi Indah benar-benar tampak gagah. Selain itu dia juga memiliki sepasang mata yang tajam tapi bisa berubah lembut dan jika memandang seolah menyentuh sampai ke lubuk hati."Pimpinan Kelompok Bumi Hitam….""Kau boleh memanggil namaku….""Hemmm…. Pelangi Indah, jangan menduga salah. Aku tidak tahu apa yang hendak dilakukan orang-orangmu terhadapku. Ternyata kini aku mendapat kehormatan besar. Kau sendiri yang hendak menolongku. Sejak satu hari ini dadaku sakit bukan kepalang dan darah masih mengalir dari mulutku. Belum pernah aku mengalami cidera seperti ini. Apa benar keadaanku gawat….?""Memang gawat. Aku berusaha mengobati. Kau harap berdoa memohon pertolongan Tuhan…." kata Pelangi Indah lalu keluarkan kalung kepala srigala perak dari balik pakaiannya. Saat itulah Wiro menyadari betapa tipisnya jubah hitam yang dikenakan si gadis hingga walau cahaya pelita dalam kamar tidak terlalu terang namun dia dapat melihat jelas lekuk-lekuk tubuh Pelangi Indah mulai dari dada sampai ke pinggang."Aku mau kencing…." kata Pendekar 212 tiba-tiba."Jangan berbuat macam-macam. Terlalu banyak kau bergerak racun dalam tubuhmu akan menyebar kemana-mana….""Aku tidak bergurau. Tapi biar sekali ini aku mengikuti ucapanmu. Akan kucoba menahan kencing!" kata Wiro sambil menyeringai dan hendak menggaruk kepala. Tapi lengannya cepat ditahan oleh Pelangi Indah. Kalung kepala srigala yang di keluarkannya dari balik pakaian diletakkannya di dada kiri Pendekar 212, tepat pada bagian yang bengkak membiru akibat jotosan Seribu Kati. Satu hawa sejuk masuk menembus permukaan kulit Wiro."Kau sudah siap….?" Pelangi Indah bertanya."Aku… ya aku siap," jawab Wior walau dia tidak tahu apa yang akan dilakukan si Indah menatap ke arah pelita di sudut ruangan. Perlahan-lahan nyala api pelita menjadi kecil meredup tapi tidak sampai padam. Ruangan yang tidak seberapa besar itu menjadi temaram. Si gadis dekap pipi Pendekar 212 dengan ke dua tangannya. Kepalanya lalu di turunkan mendekati wajah sang Pendekar. Lalu tiba-tiba saja bibirnya sudah menyentuh bibir Wiro. Wiro merasakan satu kecupan sangat keras hingga bukan saja lidahnya tertarik keluar tapi isi perutnya juga seolah tersedot. Dari dadanya yang cidera dan dari perut keluar suara seperti air menggelegak. Suara aneh ini berpindah ke tenggorokannya lalu dia merasa ada cairan banyak sekali memenuhi mulutnya. Pelangi Indah menyedot. Cairan di dalam mulut Wiro berpindah ke mulutnya. Lalu dia menyemburkan cairan dalam mulutnya itu ke dinding. Dinding yang tadinya hitam berubah menjadi biru pekat. Pelangi indah seka mulutnya yang basah. Bengkak membiru di dada kiri Wiro serta merta lenyap. Rasa sakit hilang dan kekuatannya pulih kembali."Racun jahat…." ujar Wiro seraya memperhatikan cairan biru yang menutupi dinding."Kau selamat…" bisik Pelangi berpaling. Dilihatnya gadis cantik itu tegak berpegangan ke tepi ranjang. Tubuhnya mandi keringat. Wjahnya kemerahan. Dia tertegak limbung. Wiro cepat memegang pinggang gadis itu agar tidak jatuh. Untuk menyedot racun pukulan yang ada dalam tubuh Wiro, si gadis telah mengerahkan tenaga luar dan dalam habis-habisan. Itu sebabnya tubuhnya mandi keringat dan menjadi lemah. Dalam keadaan terkulai letih tubuh si gadis jatuh di atas dada Pendekar 212. Kening mereka saling bertindihan."Pendekar 212, sepuluh tahun aku menunggu kedatanganmu. Kau muncul membawa keselamatan bagi diriku! Kau datang membawa batu hitam mustika sakti pelambang kepada siapa aku harus tunduk dan menyerahkan diri. Wiro, kau tidak boleh meningglkan tempat ini untuk selama-lamanya…"Tentu saja Wiro terkejut mendengar ucapan si gadis. "Aku berhutang nyawa padanya. Kalau dia sampai memaksa urusan bisa jadi tidak karuan…" ujar Wiro dalam hati. Lalu dia berkata."Pelangi Indah, kau telah menyelamatkan jiwaku. Aku mengucapkan terima kasih. Tapi aku tidak mengerti arti….."Wiro tidak dapat melanjutkan ucapannya. Karena bibir si gadis telah menempel di bibirnya. Kembali dia merasakan satu kecupan keras."Astaga, apakah ini masih merupakan kecupan untuk mengobati diriku atau kecupan lain…." kata Wiro dalam hati. Tangan kanannya menggaruk kepala. Namun kemudian perlahan-lahan tangan itu bergerak merangkul tubuh lembut Pelangi Indah. Dalam keadaan seperti itu Pendekar 212 ingat akan niatnya untuk medapatkan ilmu kesaktian yang bernama Sepasang Sinar Inti Roh. Dia harus menunggu 49 tahun karena Sinto Gendeng menganggap dirinya belum mampu menerima ilmu kesaktian itu mengingat dia merupakan seorang pemuda yang masih suka pada wajah cantik dan tubuh mulus. Dalam hati Wiro membatin. "Nenek itu benar. Dalam keadaan seperti ini bagaimana mungkin aku menolak. Siapa mau menyia-nyiakan kesempatan! Walah! Biar tidak aku pikirkan dulu ilmu itu! Kalau memang aku harus menunggu sekian lama apa boleh buat! Benar juga kata orang. Sehabis sengsara biasanya datang bahagia tak terduga.""Wiro, apakah kau masih kepingin kecing?" tiba-tiba Pelangi Indah berbisik."Hemm…. Apa? Tadi aku cuma bergurau. Jangan khawatir, aku tidak bakalan ngompol di celana!" Wiro menyeringai lalu tertawa Indah sendiri tak kuasa menahan tawanya. Untung saja Wiro cepat merangkul tubuhnya hingga suara tawanya tenggelam di atas dada bidang sang pendekar.***TAMAT

kumpulan cerita silat wiro sableng